Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

27 April 2009

MEMENEJ HARI-HARI: Pendahuluan

Guru kami (alm.) menerangkan, waktu adalah apa yang engkau sedang di dalamnya. Jika engkau di dunia, maka itu waktumu, dan jika engkau berada di penghabisan usiamu, maka di situ pulalah waktumu. Engkau bersedih, maka kesedihan itu waktumu. Waktu merupakan sesuatu yang mengalahkan dan mengikat kita.


“Seseorang dengan hukum waktu,” kata beliau. Keberlaluan waktu adalah kepastian, begitu pula sedang dan akan selalu harus kita hadapi. Jika engkau ingin berhasil di waktumu, maka engkau harus patuh pada hukumnya. Adapun bagi yang tidak menghiraukan hukum-hukumnya akan merugi. Karena itu orang pintar adalah manusia yang menapaki waktu-waktunya secara bijak.

Di dunia, adakalanya waktu seseorang itu adalah saat ia mengusahakan atau mewujudkan suatu nilai hidup melalui beberapa tingkatan mujāhadah kerja keras. Dan betapa beruntung ia jika waktu-waktunya adalah saat setelah mempersaksikan lā ilāha illallāh muhammad rasūlullāh, ia mengusahakan dan menempati maqam-maqam at-tā-ib yang bertaubat, al-‘ābid yang menghamba, al-hāmid yang memuji, dan seterusnya.

Sesungguhnya Allāh telah membeli dari orang-orang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang fī sabīlillāh, lalu mereka membunuh atau terbunuh, sebagai janji-Nya yang hak dalam Taurat, Injil dan Al-Qur-ān. Dan siapakah yang lebih menepati janji selain daripada Allāh? Maka bergembiralah kalian dengan jual-beli yang telah kalian lakukan, dan itulah kemenangan yang besar.

Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang menghamba, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allāh. Gembirakanlah orang-orang beriman itu.(1)

Keberuntungan waktu kita tidak ditentukan oleh siapa kita berdasarkan suku, bangsa, negara, keturunan atau jenis kelamin, tetapi menurut keadaan dan kedudukan macam apa yang sudah, sedang dan akan kita tetapi. Adalah Ummu ‘Imārah Al-Anshāriy – begitu cerita Turmudziy melalui jalan periwayatan yang dinilainya hasan – pernah menjumpai Rasūlullāh dan berkata : “Aku tidak temukan satu kebaikan pun kecuali selalu bagi kaum pria, sedangkan kaum wanita tidak pernah disebut-sebut.” Maka Allāh menurunkan melalui Rasul-Nya, ayat :

Sesungguhnya pria dan wanita yang muslim, pria dan wanita yang mu`min, pria dan wanita yang langgeng taatnya, pria dan wanita yang benar, pria dan wanita yang sabar, pria dan wanita yang khusyu’, pria dan wanita yang bersedekah, pria dan wanita yang berpuasa, pria dan wanita yang memelihara kehormatannya, dan pria dan wanita yang banyak mengingat Allāh, Allāh telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.(2)

Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur-ān menegaskan hal tersebut, antara lain dua ayat berikut ini :

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allāh ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allāh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(3)

Demi waktu ‘ashr. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasehati agar menta’ati kebenaran dan saling menasehati agar menetapi kesabaran.(4)

Dan ingatlah, keberuntungan waktu tidak bisa dicapai dengan segala macam bualan dan khayalan, tetapi dengan ikhtiar dan kerja keras.

Mereka berkata : “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.” Demikian itulah angan-angan kosong mereka. Katakanlah : “Tunjukkan bukti kebenaran kalian jika kalian orang yang benar (karena sebenarnya di sisi Allāh tidaklah demikian) bahkan (yang sebenarnya adalah) barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allāh, sedang ia pelaku kebaikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.”(5)

Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidak bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu atau belum mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.(6)

Karena itu, hendaklah seseorang giat bekerja, tekun dan terus mengusahakan atau mewujudkan suatu nilai hidup yang akan menjadikan waktu-waktunya penuh dengan keberuntungan dan kebahagiaan.

Menjadikan Waktumu Adalah Saat Kamu Memperoleh Cinta-Nya

Guru kami menjelaskan, manusia di dunia ini berkelana. Terminal keberangkatan mereka adalah buaian, stasiun terakhirnya adalah liang lahad. Tempat menetap sebenarnya adalah surga atau neraka. Umur adalah jarak perjalanannya, tahun-tahun merupakan fase-fasenya, bulan-bulan adalah jarak terpanjangnya, dan hari-hari merupakan jarak terpendeknya. Nafas adalah langkahnya, ketaatan adalah hartanya, dan waktu adalah modalnya. Sementara hawa nafsu dan segala keinginannya adalah para perompaknya. Keuntungannya ialah memperoleh kebahagiaan berjumpa dengan Allāh di negeri kesejahteraan beserta kerajaan besar dan kenikmatan yang kekal. Kerugiannya ialah jauh dari Allāh dengan kutukan, belenggu dan siksaan pedih di neraka Jahim.

Orang yang melalaikan – walaupun satu nafas – umurnya, terancam penyesalan yang tiada akhir dan kerugian yang tiada batas. Karena itulah orang yang mendapat taufiq akan bersungguh-sungguh menentang keterlenaan nafsu, memanfaatkan sisa umur, dan menata tugas-tugas wirid sesuai dengan berulangnya waktu-waktu hingga ia sampai pada waktu dimana ia mendapatkan kedekatan yang istimewa dengan Allāh dan memperoleh Cinta-Nya.

Tidak sedikit orang yang ingin mendapatkan dan merasakan momen paling istimewa tersebut dalam waktu-waktu hidupnya di dunia yang teramat singkat ini, karena dia merupakan sukses terbesar yang dapat diraih seorang hamba. Para Ahli Ma’rifat berkeyakinan bahwa mahabbaĥ cinta merupakan maqam perjalanan spiritual terakhir, yang tidak ada maqam lain sesudahnya. Keadaan-keadaan ruhaniah semacam rindu, tenteram dan ridha merupakan keadaan-keadaan lanjutan yang bersemi pada maqam ini, sedangkan keadaan-keadaan semacam ma’rifat, khauf, raja’, taubat, zuhud, dan sebagainya, justru merupakan keadaan-keadaan pendahuluan yang mendukung berseminya cinta. Dalam hadits disebutkan : “Apabila Allāh mencintai seorang hamba, Dia berfirman kepada Jibril : “Hai Jibril, sesungguhnya aku mencintai si Fulan, maka hendaklah engkau mencintainya pula.” Maka Jibril pun akan mencintainya, kemudian dia akan mengumumkan kepada para penghuni langit : “Sesungguhnya Allāh telah mencintai si Fulan, maka hendaklah kalian mencintainya pula.” Maka para penghuni langit pun akan mencintainya. Lalu Allāh akan mengaruniai hamba tersebut penerimaan yang luas di muka bumi.”(7)

Dan sesungguhnya kita telah menempuh jalan yang tepat ke arah keberuntungan itu, manakala kita mengawali taqarrub pendekatan kita pada-Nya melalui pelaksanaan berbagai kewajiban yang Dia telah syari’atkan atas kita. Hadits menyatakan bahwa Allāh telah berfirman : “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kusukai daripada dengan apa-apa yang Kuwajibkan padanya, lalu hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat hingga Aku pun mencintainya.”(8)

Namun yang demikian hanya tercapai dengan terus menerus mengekalkan dzikr pada-Nya.

Hamba-hamba Allāh yang adab kepada Allāhnya paling disukai adalah orang-orang yang berjaga di saat biasanya matahari dan bulan tampak, serta bayang-bayang biasanya terlihat untuk dzikrillāh.(9)

Mengapa Jenis Wirid Begitu Banyak?

Mengekalkan dzikr tidaklah mudah kecuali dengan meninggalkan dunia dan segala kesia-siaannya, dan mencukupkan diri darinya sebatas bekal untuk beribadat dan hal-hal yang tidak bisa tidak harus ada untuk dapat melangsungkan hidup biologis. Semua itu disempurnakan dengan menghabiskan waktu – siang dan malam – hanya dalam tugas-tugas wirid.
Meski demikian, nafsu yang cenderung cepat bosan, tidak bisa bersabar dengan satu dua wirid. Padahal Rasūlullāh bersabda : “Hendaklah kalian beramal dengan segenap kemampuan kalian, karena demi Allāh, Allāh tidak pernah jemu menerima doa dan amal kalian hingga kalian sendiri yang merasa jemu, dan sesungguhnya amal agama yang paling disukai Allāh adalah yang dikerjakan secara dawām intens.”(10)

Oleh karena itu wirid terdiri dan dibagi menjadi beberapa bagian yang berbeda, untuk mengalahkan kebosanan, karena nafsu menyukai sesuatu yang dinamis dan variatif (tidak monoton, itu itu saja). Sehingga dengan berbagai variasinya, diharapkan nafsu bisa menjadi suka, lalu dengan seringnya menyukai, ketekunan pun semakin meningkat.

Menurut guru kami, proses perubahan amal yang belum selaras dengan jiwa, sehingga menjadi selaras, pertama sekali adalah dengan merubah hal yang berat atau tidak mungkin untuk dilakukan menjadi mungkin, dan ini merupakan perkara yang sangat sulit, biasanya menyebabkan jiwa dihinggapi kegelisahan dan keragu-raguan, namun kemudian pada kali kedua dan ketiga urusannya menjadi semakin mudah karena sudah terbiasa. Halang dan rintang berhasil diterabas. Kelaliman diri yang tidak pernah menghiraukan perintah akal pun mati. Demikian prosesnya karena kebaikan itu adalah ‘ādat hasil pembiasaan, sebagaimana halnya kejahatan.

Sesuaikan Tugas Wirid Dengan Keadaan Kita

Allāh telah menciptakan manusia berbeda-beda keadaannya. “Dia tahu bahwa ada di antara kalian yang tengah sakit, yang tengah bekerja di bumi mencari sebagian karunia Allāh, dan yang tengah berperang fī sabīlillāh,”(11) begitu Firman-Nya. “Dan Dialah yang telah menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi, dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian yang lain beberapa derajat, untuk menguji kalian atas apa yang telah dianugerahkan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia benar-benar Maha pengampun lagi Maha penyayang.”(12)

Sehingga manusia akan beramal sesuai dengan keadaannya masing-masing. Katakanlah : “Tiap-tiap orang beramal menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhan kalian lebih mengetahui siapa yang lebih terbimbing jalannya.”(13) Begitu ditegaskan dalam Al-Qur-ān.

Barangkali, berdasarkan kenyataan demikianlah Al-Ghazāliy – di penghujung bab pertama tulisannya mengenai “Kitab Urutan Wirid-Wirid Dan Perincian Menghidupkan Malam” – menjelaskan soal perbedaan wirid-wirid sesuai perbedaan keadaan. Berikut ini ringkasannya :

Seseorang yang tidak memiliki kesibukan, dan jika diam hanya akan melakukan kesia-siaan dan membuang-buang waktu percuma, maka sudah seharusnya ia menjalani pagi, siang, sore dan malam – dari bangun tidur sampai ia tidur kembali – dengan tugas-tugas wirid selengkapnya.

Adapun orang yang memiliki kesibukan mengajar ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang dapat memperbaiki ibadah, menggemarkan orang terhadap akhirat dan membuat mereka zuhud di dunia, bisa membagi tugas-tugas wiridnya, misalnya, setelah shubuh hingga matahari terbit dengan melafalkan dzikir-dzikir pagi hari. Setelah terbit matahari sampai waktu dhuha dengan memberi faedah dan mengajar. Jika tidak, dengan memikirkan persoalan-persoalan agama yang pelik atau membutuhkan pemecahan yang jitu. Dari waktu dhuha sampai ‘ashr dengan mengarang dan menelaah berbagai disiplin ilmu sesuai keahlian atau keperluan. Dari waktu ‘ashr sampai senja dengan menyimak berbagai informasi yang bermanfaat untuk kegiatan mengajar atau mengarangnya. Dari waktu senja hingga terbenam matahari dengan melafalkan dzikir-dzikir sore hari dan istighfar.

Wirid malam bagi orang yang memiliki kesibukan mengajar, misalnya sebagaimana Asy-Syāfi’iy, beliau membagi tiga, yaitu sepertiga pertama untuk menelaah dan menyusun ilmu, sepertiga berikutnya untuk shalat, dan sepertiga terakhir untuk tidur. Kata Al-Ghāzaliy : “Itu jika malam-malam di musim dingin yang panjang, sedangkan di musim panas, dimana malam-malamnya lebih pendek, pembagian demikian akan sangat sulit kecuali jika waktu tidur siang diperpanjang.”

Bagi pelajar, pembagian wiridnya seperti bagi orang yang memiliki kesibukan mengajar, hanyasaja jika setelah terbit matahari sampai waktu dhuha, pengajar sibuk dengan memberi faedah dan mengajar, maka pelajar menyibukkan diri dengan mencari faedah dan menerima pelajaran atau memikirkan persoalan-persoalan yang tengah dipelajarinya. Begitu pula dari waktu dhuha sampai senja dan di sepertiga pertama malam hari.

Orang yang bekerja untuk menafkahi keluarga maupun orang yang memikul tugas kemasyarakatan, seperti pemimpin negara, hakim, guru, tenaga kesehatan, ilmuwan dan tentara, wiridnya cukup dengan, misalnya, menyertakan dzikr-dzikr dan pembacaan Al-Qur-ān di sela-sela bekerja, dan tampaknya tidak akan mengganggu pekerjaan kalau ia membaca wirid barang sejenak seusai shalat-shalat fardhu. Selepas kerja, barulah ia menekuni kembali tugas-tugas wirid sesuai saatnya dengan sempurna.

Jadi, hendaklah kita lebih cermat dan bijaksana dalam memilih waktu-waktu kita, memanaj hari-hari kita. Perhatikan Firman Allāh berikut :

Dan Allāh menetapkan ukuran malam dan siang berbeda-beda lama waktunya; Dia tahu bahwa kalian sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batasnya secara pasti, maka Dia memberi keringan kepada kalian, karena itu bacalah oleh kalian apa yang mudah dari Al-Qur-ān.

Dia tahu bahwa ada di antara kalian yang tengah sakit, yang tengah bekerja di bumi mencari sebagian karunia Allāh, dan yang tengah berperang fī sabīlillāh, karena itu bacalah oleh kalian apa yang mudah dari Al-Qur-ān dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta berikanlah pinjaman kepada Allāh pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kalian perbuat untuk diri kalian sendiri, niscaya kalian memperoleh balasannya di sisi Allāh berupa kebaikan dan seagung-agungnya balasan. Dan mohonlah ampunan kepada Allāh. Sesungguhnya Allāh Maha pengampun lagi Maha penyayang.(14)

Rahasia Sukses

Kata guru kami, variasi wirid sehingga tidak monoton dan membosankan, serta perbedaan pembagian wirid sesuai keadaan kita masing-masing, sasarannya adalah merubah sifat-sifat batiniah. Untuk itu yang penting dipelihara adalah intensitasnya, dawām-nya, bukan banyak sedikit jumlahnya atau panjang pendek waktunya. Sebab, pengaruh wirid yang pertama, sebanyak atau selama apapun, akan lenyap apabila tidak terus diiringi oleh wirid kedua, ketiga dan seterusnya secara kontinyu sesuai dengan berulangnya waktu-waktu. Hal ini seperti seorang pelajar yang benar-benar ingin menguasai suatu bidang pelajaran, tidak akan bisa kecuali dengan pengulangan yang terus menerus. Seandainya ia mengingat-ingat dan mengulang-ulang pelajaran tersebut sebanyak-banyaknya dalam satu malam, lalu selama sebulan atau seminggu ia tidak melakukannya lagi, maka upayanya ini sangat kecil pengaruhnya dalam membuat dirinya benar-benar ahli dalam bidang pelajaran tersebut. Berbeda dengan apabila ia membagi apa yang dikebutnya dalam semalam itu dalam beberapa malam, sedikit demi sedikit dan berulang-ulang, pengaruhnya pasti akan lebih besar.

Nabi bersabda : “Sesungguhnya amal agama yang paling disukai Allāh adalah yang dikerjakan secara dawām intens.”(15)

Dan pernah kepada ‘Abdullāh putera ‘Amr bin ‘Āsh, Nabi bersabda : “Hai ‘Abdallāh, janganlah kamu seperti si fulan, tadinya ia suka bangun untuk shalat malam, kemudian ia meninggalkannya.”(16)

Nabi juga bersabda : “Sesungguhnya agama itu mudah, dan siapa saja yang mempersulitnya, maka ia akan kalah. Oleh karena itu, bersahajalah dan dekatkanlah diri kalian kepada Allāh serta bersuka hatilah. Bermohonlah kalian untuk sampai pada kedekatan yang istimewa dengan Allāh dengan memanfaatkan saat-saat pagi, sore dan sebagian malam.”(17)

Dalam riwayat lain diceritakan, Nabi bersabda : “Bersahajalah dan dekatkanlah diri kalian kepada Allāh, serta manfaatkanlah saat-saat pagi, sore dan sebagian malam. Al-qashda, al-qashda, tablughūw berlaku lurus dan sederhanalah, niscaya kalian sampai kepada tujuan.”

Tunda Dulu Wirid Bila ...

Guru kami mengatakan, bila orang yang bekerja untuk menafkahi keluarganya, dan hasil atau upah yang diperoleh dari pekerjaannya tersebut sudah mencukupi, lalu ketika ada kesempatan untuk menambah hasil atau upahnya lebih dari cukup, baik dengan kerja lembur ataupun melakukan pekerjaan lain, ia pun melakukannya, sehingga menunda wirid-wirid yang biasa dilakukannya sepulang kerja, maka jika ia berbuat demikian agar dapat bersedekah dengan kelebihan hasil atau upahnya tersebut, itu lebih utama daripada memenuhi wirid-wiridnya.

Bagaimana dengan pengaruh wirid-wiridnya? Tidakkah penjedaan atau penundaan itu akan menghilangkan pengaruhnya?

Tentu saja tidak, sebab pengaruh wirid terhadap sifat batin seseorang yang menundanya atau memutuskan rutinitas pelaksanaannya, hanya akan lenyap bila ia menunda atau memutuskannya karena berpaling kepada kelezatan-kelezatan dunia. “Jika seorang hamba memberikan separuh saja waktunya untuk memikirkan dunia dan syahwat-syahwatnya, niscaya wirid-wirid di separuh waktunya yang lain tidak akan banyak berpengaruh pada sifat batinnya, yang ada malah jiwanya semakin cenderung dan menyukai dunia, karena kesukaan kepada dunia sejalan dengan naluri nafsunya,” begitu kata guru kami.

Hal ini berbeda dengan orang yang menjeda wirid-wiridnya agar bisa bersedekah atau menyebarkan rahmat kepada sesama muslim. Perbuatannya ini justru sejalan, malah menjadi penguat bagi wirid-wirid yang dirutinkannya dalam menempa sifat batinnya.

Kiaskan hal semacam itu kepada orang yang mengajar ilmu yang bermanfaat, atau kepada pelajar dan orang-orang yang memikul tugas-tugas kemasyarakatan. Karena mengajar dan mempelajari suatu ilmu yang dapat memperbaiki ibadah, menggemarkan orang terhadap akhirat dan membuat mereka zuhud di dunia, juga melakukan kebaikan untuk dan kepada kaum muslimin, adalah amal yang faedahnya tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri.

Cermatilah beberapa keterangan berikut ini :

Ibn ‘Abbās bercerita bahwa Nabi pernah menempatkan ‘Abdullāh bin Rawāhah di sebuah satuan tempur, lalu karena saat itu bertepatan dengan tibanya pelaksanaan jum’at, ‘Abdullāh pun bergegas meninggalkan teman-teman sepasukannya untuk melaksanakan jum’at bersama Nabi dulu.

Ketika Nabi melihat ‘Abdullāh menghadiri jum’atan, beliau pun bertanya kepadanya : “Apa yang mencegahmu pergi sesegera mungkin bersama kawan-kawan sepasukanmu?” Jawab ‘Abdullāh : “Keinginanku untuk shalat jum’at bersama anda.”

Sabda Nabi : “Seandainya engkau infaqkan semua yang ada di bumi, tidaklah semua itu dapat menyampaikan engkau kepada pahala bersegera pergi bersama mereka, kawan-kawan sepasukanmu.”(18) Dalam riwayat lain disebutkan bahwa satuan tempur tersebut adalah satuan tempur yang dikirim ke Mu’tah, dan kepada ‘Abdullāh bin Rawāhah, Rasūlullāh berkata : “Bersegera pergi lebih baik bagimu dari dunia dan segala isinya.”

Diriwayatkan oleh At-Turmudziy bahwa Nabi berdoa : “Ya Allāh, berkahilah umatku di pagi buta.” Dan Shakkār Al-Ghāmidiy, rāwiy hadīts ini, mengatakan bahwa Rasūlullāh apabila mengirim satuan tempur, beliau mengirimnya di pagi buta. Shakkār sendiri, yang menurut At-Turmudziy adalah seorang saudagar kaya, jika mengirim dagangan, selalu melakukannya di pagi buta.

Nash-nash serupa itu kiranya dapat membuat kita lebih cermat dan bijaksana dalam memilih waktu-waktu kita, memanaj hari-hari kita. Janganlah “rutinitas” ibadat sebagaimana yang akan dikemukakan dalam “Menyambut Pagi”, “Menghidupkan Pagi”, “Menjalani Siang” dan “Menjelajah Malam” menjadi penghalang untuk mengerjakan kebaikan yang lain pada saat yang sama. Tetapi, jangan pernah meninggalkan “rutinitas” tersebut hanya karena memperturutkan hawa nafsu dan kemalasan!!!

Al-Junaid, Abū l-Qāsim ibn Muhammad (w.298 H/910-11 M). Maha guru para Shufi, disamping seorang ahli teologi dan hukum bermadzhab Abū Tsawr, berkata : “Andaikata seorang yang shiddīq menghadapkan dirinya kepada Allāh selama sejuta tahun, lalu berpaling barang sekejap saja, maka dia lebih banyak kehilangan daripada memperoleh kebaikannya.”

Yūsuf ibn l-Husain, Abū Ya’qūb Ar-Rāziy (w. 304 H/961 M). Guru besar di Ar-Rayy dan Al-Jibāl pada masanya, disamping seorang penenun, ahli sastra dan ilmuwan yang brilian, berkata : “Jika seorang yang punya keinginan belajar menempuh jalan pengabdian (murīd) senang mengambil rukhshaĥ (keringanan) dalam beribadat, ketahuilah bahwa ia tidak memberikan manfaat apapun pada latihan dan pendisiplinan dirinya.”

Abū ‘Aliy Ad-Daqāq, Al-Hasan ibn ‘Aliy. Guru sekaligus mertua Al-Qusyairiy (penulis Ar-Risālatu l-Qusyairiyyah) berkata : “Barangsiapa menghiasi lahirnya dengan latihan dan disiplin keras dalam bersyari’at (mujāhadaĥ) maka Allāh akan memperbaiki sisi batinnya dengan penyaksian hakiki (musyāhadaĥ). Ketahuilah bahwa orang yang dalam awal perjalanan penghambaannya tidak pernah mujāhadaĥ maka ia tidak akan mendapatkan sesuatu yang dapat menerangi relung ruhaninya.”

Wallāhu l-ma’mūlu an yuqābila jahda l-muqilli bi hasani l-qabūli wa l-hamdu lillāhi rabbi l-‘ālamīn.

(nyambung)

(1) Qs. At-Tawbah (9) : 111-112.
(2) Qs. Al-Ahzāb (33) : 35.
(3) Qs. Al-Hujurāt (49) : 13.
(4) Qs. Al-‘Ashr (103) : 1-3. Allāh bersumpah “Demi waktu” dengan
menggunakan kata ‘ashr bukan dahr yang artinya juga waktu atau masa, adalah untuk mengingatkan bahwa di waktu manusia telah mencapai hasil yang dikehendaki setelah memeras tenaga dan pikirannya sedemikian keras, sesungguhnya ia merugi, apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh.
Kerugian tersebut mungkin tidak akan disadari atau dirasakan oleh seseorang pada waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya pada waktu ‘ashr kehidupannya, menjelang matahari hayatnya terbenam. Bukankah ‘ashr – disamping bermakna “memeras” – juga bermakna waktu di mana matahari akan terbenam?
Setiap hari yang berlalu
mengambil bagian dariku
mewariskan hati yang letih
dan duka, lalu maut menemui
Tidaklah orang mati beristirahat
tetapi kematian itu hanyalah akhir kehidupan sementara
untuk kemudian hidup selamanya
dalam keberuntungan atau kerugian
(5) Qs. Al-Baqarah (2) : 111-112.
(6) Qs. Al-An’ām (6) : 158.
(7) Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Abû Hurairaĥ dalam Al-Jāmi’u sh-Shahīh (Imam Muslim), Kitābu l-Birri Wa sh-Shillaĥ, Bāb Idzā Ahaballāhu ‘Abdān.
(8) Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Abû Hurairaĥ dalam Shahīhu l-Bukhāriy, Kitābu r-Riqāq, Bāb At-Tawādhu’.
(9) Riwayat Ath-Thabrāniy dan Al-Hākim.
(10) Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh ‘Āīsyah dalam Shahīhu l-Bukhāriy dan Al-Jāmi’u sh-Shahīh (Imam Muslim).
(11) Qs. Al-Muzammil (73) : 20.
(12) Qs. Al-An’ām (6) : 165.
(13) Qs. Al-Isrā` (17) : 84.
(14) Qs. Al-Muzammil (73) : 20.
(15) Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh ‘Āīsyah, dan telah dinukil sebelumnya.
(16) Bagian dari hadits yang diriwayatkan dalam Shahīhu l-Bukhāriy dan Al-Jāmi’u sh-Shahīh (Imam Muslim).
(17) Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Abû Hurairaĥ dalam Shahīhu l-Bukhāriy.
(18) Musnad Ahmad: Musnad ‘Abdullāh bin ‘Abbās.


Related Posts by Categories



1 komentar:

  1. Walau belum disertai kontemplasi, nampaknya melegakan nalar saya.
    Adakah Nilai Ketuhanan lainnya yang anda yakini tentang hubunga antara kepatuhan-kepatutan terhadap Orang (ibu/ayah, suami/istri, anak, saudara kandug, kerabat dan sahabat) terhadap Amal kebajikan dan terhadap Ilmu pengetahua/ Intelektual, atas seseorang yang memenuhi syarat.
    Salam.

    BalasHapus