Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

19 November 2010

Pos Pertama: Albidāyah

Disebut demikian karena penempuh jalan pada pos ini mulai membangun keteguhan jiwa dan memperbaiki perangkat lahirnya.

Tanpa menyelesaikan lintasan-lintasan pada pos ini tidak mungkin dapat sampai kepada pos terakhir dalam perjalanan menuju Allah.

Tahap ini dipandang selesai manakala hamba telah menunaikan perintah Allah dengan ikhlas, menetapi sunnah Rasul, mengagungkan larangan Allah karena takut kepada Allah, menjaga kehormatan dan mengasihi sesama penempuh jalan makrifat dengan nasehat dan membantu mencukupi keperluan mereka, menjauhi pertemanan dan pergaulan yang dapat merusak kontinyuitas wirid dan zikir, dan menjauhi setiap yang menyebabkan rusaknya kondisi hati.

Ikhlas dalam menunaikan perintah Allah dan menetapi sunnah Rasul dalam tahap ini adalah tidak menghitung-hitung jenis amaliah yang diperintahkan, kadar pahalanya maupun kepentingan-kepentingannya, tetapi ditunaikan karena memandang kepada Allah semata.

Pos albidāyah terdiri dari sepuluh lintasan, dimana hamba yang ingin membebaskan diri dari kelalaian dan kebodohan, pertama-tama terjaga dari keterlenaan (inilah lintasan pertama, alyaqzhah), kemudian dia berhenti dari berbuat dosa (inilah lintasan kedua, attawbah), lalu dia memeriksa apa yang dilewatkannya selama ini (lintasan ketiga, almuhāsabah), selanjutnya secara bertahap dia mulai menempuh lintasan-lintasan berikutnya, hingga lintasan kesepuluh, dimana hamba kembali kepada Allah dengan penuh penyesalan dan memohon pengampunan serta keuzuran (lintasan keempat, al inābah), kemudian dia bertafakur dan berzikir untuk mendapatkan kembali kemurnian kekuatan-kekuatan batiniah yang selama ini tertutupi (lintasan kelima dan keenam, attafakkur dan attadzakkur), lalu dia berteguh diri dalam takwa dengan penuh kewaspadaan agar tidak kembali terjerumus kepada sifat-sifat jelek (lintasan ketujuh, al i'tishām), selanjutnya dia menjauhi tempat-tempat yang dapat merusak kebaikan yang telah diusahakannya dan hal-hal yang dapat menenggelamkannya dalam riya dan bersenang hati padahal tujuan belum lagi tercapai (lintasan kedelapan, alfirār), terus dia melatih jiwanya dan mengendalikannya agar teguh menunaikan ibadah (lintasan kesembilan, arriyādhah), terakhir dia senantiasa menyimak dengan baik nasehat dan peringatan-peringatan yang diuraikan oleh Allah dalam Alquran yang agung, hadis-hadis yang sahih, dan atsar-atsar orang-orang yang saleh dan banyak berbuat kebaikan (lintasan kesepuluh, assamā’).

bersambung ke lintasan alyaqzhah.

Selengkapnya...

Sepuluh Pos Perjalanan Menuju Allah


Tulisan ini merupakan terjemahan dari karya Alharawi (396-481 H.), yaitu kitab Manāzilus Sā irīn ilāl Haqqil Mubīn, yang dilengkapi dengan penjelasan yang disadur dari kitab-kitab syarh karya Attilmisani (610-690), Alqasani/Alkasyani (wafat tahun 731), Alfarqawi (725-795) dan Allakhmi (lahir tahun 755). Menyangkut istilah-istilah ilmiah dalam terjemahan ini menggunakan kitab karya Alkasyani dan Alqusyayri (376-465).



Kitab Manāzilus Sā irīn ilāl Haqqil Mubīn


Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai keadaan-keadaan bersuluk yang terdiri dari seratus tingkatan dalam sepuluh bagian.

Penyusunnya adalah seorang pemuka dalam ilmu hadis, tafsir, bahasa dan tasawuf, yang penjelasannya mengenai hakekat diakui paling lurus dan dapat diterima oleh masyarakat awam maupun para spesialis; beliau adalah Abū Ismā’īl Alharawi, tokoh Khurasan, keturunan sahabat Nabi, Abu Ayyub Al anshari.

Berkenaan dengan karyanya itu, Alharawi mengatakan: “Sudah banyak kitab sejenis yang disusun oleh para ulama terdahulu maupun yang datang belakangan, namun karya-karya tersebut umumnya tidak mencukupi, ada yang menitik beratkan pembahasannya hanya pada hal-hal pokok dan meninggalkan rinciannya, ada yang menyajikan banyak hikayat tetapi tidak menyimpulkan kandungan pelajarannya atau tidak menjelaskan masalah-masalah peliknya, ada yang tidak memisahkan secara jelas antara kondisi ruhaniah bagi para spesialis dengan kondisi umum yang mesti dipenuhi, ada juga yang memasukkan dalam penjelasannya kata-kata orang yang tenggelam dalam suatu keadaan ruhaniah, dan menjadikan rahasia para penyaksi ketuhanan serta rumus-rumusnya sebagai konsumsi umum. Adapun kasus yang paling merata ditemui dalam karya-karya itu adalah tidak dijelaskannya mengenai tingkatan-tingkatan perjalanan menuju Tuhan Alhaqqul Mubīn.”
 

Selengkapnya...

16 November 2010

Munajat Pujian Dan Sanjungan Kepada Allah

(Doa Yastasyir)

alhamdu lillāhil ladzī lā ilāha illā huwal hayyul qayyūmud dā imul malikul haqqul mubīnu, almudabbiru bilā wazīrin walā khalqin min ‘ibādihi yastasyīru.

Segala puji bagi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang Maha hidup, Maha berdiri sendiri, Maha langgeng, Maha merajai, Maha benar, lagi Maha nyata. Pengatur urusan tanpa seorang pembantu pun dan tanpa berkonsultasi dengan seorang hamba pun.

Doa selengkapnya silahkan unduh di sini atau di sini atau di sini.
Selengkapnya...

15 November 2010

ENGKAU O ALLAH

Mengenal Allah melalui munajat-munajat Imam Ali Karamallahu Wajhah


Judul asli: Sahifa e Alawiya. Penyusun: Abdullah Samahiji. Publikasi: Pertama kali dipublikasikan oleh Majmaul Bahrayn tahun 1887 di Bombay, dan tahun 1893 di Teheran. Terbitan keempat dikerjakan oleh Nizami Press tahun 1951. Terjemah bahasa Urdu oleh Sayyid Morteza Husain Lakhnawi diterbitkan oleh Hyderi Kutub Kana. Terjemahan inilah yang menjadi dasar terjemahan bahasa Inggris yang dapat diunduh di http://read.kitabklasik.co.cc/2009/06/sahifah-al-alawiyah-sayyidina-ali-bin.html

PENGANTAR PENERJEMAH

Banyak sarjana yang telah menghimpun munajat-munajat Imam Ali, namun karya Abdullah bin Saleh Samahiji yang diberi nama Sahifa e Alawiya adalah yang terpopuler. Karya ini menghimpun 160 doa.

Munajat-munajat dalam Sahifa Alawiya secara garis besar terdiri dari dua bagian. Penghambaan kepada Allah dan penyampaian berbagai kebutuhan. Setiap munajat merupakan sebuah masterpiece tentang pengakuan akan kekurangan diri di hadapan keagungan Tuhan Yang Maha Besar, dan hanya pribadi seperti Ali yang bisa menyusunnya.

Kami lakukan beberapa pengeditan naskah, antara lain mengelompokan doa-doa dalam beberapa tema besar, meringkas judul setiap doa, membagi untaian doa yang panjang ke dalam beberapa bagian, menambahkan langsung penjelasan yang diperlukan ke dalam kalimat atau kata yang diterjemahkan, dan memperbaiki atau menghapus kata atau kalimat-kalimat yang kami duga merupakan kesalahan cetak.

Kami mencoba sebaik mungkin membuat terjemahan ini sesuai dengan teks asli Arabnya, namun jika pembaca menemukan kekeliruan mohon disampaikan kepada kami, sehingga kami dapat melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan pada terbitan berikutnya.


Mengenai Imam Ali lihat postingan terdahulu (klik di sini).


UCAPAN TERIMAKASIH


Memuji dan bersyukur kepada Allah tentu sudah sewajibnya didahulukan, kemudian bersalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya yang suci. Aku berterimakasih kepada pengelola website read.kitabklasik.co.cc yang darinya kuperoleh kitab Sahifa e Alawiya ini dan kitab-kitab berharga lainnya, juga kepada istri dan anak-anakku yang dengan melihat mereka selalu mengingatkanku agar lebih tekun berkhidmat kepada Allah dan bersabar menerima pembagian-Nya.
 

Bersambung ke Munajat Pujian dan Sanjungan Kepada Allah (Doa Yastasyir).

Selengkapnya...

21 Oktober 2010

Doa Fatihah Habib 'Abdurrahman Al-Habsyi


Beliau membacakan doa ini kepada ayahku sambil menulisnya menjadi sebuah kaligrafi yang indah (seperti yang tampak dalam gambar di atas). Dan aku beruntung mendapatkan salinannya dari ayahku, berupa tulisan tangan ayahku dan versi cetak dari kaligrafi asli Habib ‘Abdurrahman yang diperbanyak oleh Muhammad ‘Abdurrazaq Muhyili.

Versi cetak itulah yang kusiarkan agar dapat diambil manfaatnya oleh setiap Muslim terutama mereka yang “mahabah” kepada dzurriyat Rasul shallallāhu ‘alayhi wa ālihi wa sallam yang sebaik-baik turunan. Dengan demikian menjadi “wasilah” kebaikan bagiku dan ilmu yang terus mengalir pahalanya bagi habib ‘Abdurrahman ibnu Abi Bakr ibnu Muhammad ibnu Idrus Al-Habsyi, pamanku.

Habib menganjurkan agar doa ini dibaca sesudah “bertawasul” atau “bertabaruk” dengan surat Al-Fatihah.


Tulisan latin doa tersebut dan terjemahannya dapat diunduh di sini atau di sini. Adapun versi utuh kaligrafi doa tersebut yang dicetak dengan teks warna biru silahkan diunduh di sini atau di sini, sedangkan dengan teks warna hitam silahkan diunduh di sini atau di sini. Semoga bermanfaat. Mengenai habib 'Abdurrahman lihat pada postingan terdahulu (klik di sini).

Alhamdulillāhi rabbil ‘ālamīn, hamdān yuwāfī ni’amahu wayukāfī u mazīdahu. Allāhumma shalli ‘alā sayyidinā muhammadin wa ‘alā ahli baytihi washahbihi wasallima.

Segenap puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Pujian yang menyempurnakan nikmat-Nya dan mencukupi tambahan-Nya. Ya Allah, curahkan sebanyak-banyak berkah dan rahmat kepada tuan kami, Muhammad, dan kepada Ahli Baitnya serta para sahabatnya, berikut kesentosaan dari-Mu.

Allāhumma innī as aluka bihaqqil fātihati wassab’il matsānī. Yā rahmānad dunyā wal ākhirati warahīmahumār hamnī wagfir dzunūbī, yā ‘azhīmu, yā ‘azhīmu, innahu lā yagfirudz dzanbal ‘azhīma illāl ‘azhīmu. Lā ilāha illā anta. Subhānaka innī kuntu minazh zhālimīna.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan kebenaran surat fatihah dan tujuh ayat yang diulang-ulang. Wahai Yang maha pengasih dan maha penyayang dunia akhirat, kasihilah aku, dan ampunilah dosa-dosaku. Wahai Yang maha agung, wahai Yang maha agung, sungguh tiada yang mengampuni dosa yang besar selain Yang maha agung. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berlaku zalim.

Allāhumma bika yā hasbī bil fātihati. Yā rabbīf tah muqaffala qalbī wamla`hu min asrārika, waftah ‘alayya abwāba fadhlika wayassir ‘alayya khazā ina ‘azhamatika, birahmatika yā arhamar rāhimīn.

Ya Allah, karena-Mu cukupilah aku dengan surat fatihah. Wahai Tuhanku, bukalah keterkuncian hatiku dan diktekanlah kepadanya rahasia-rahasia-Mu, bukalah untukku pintu-pintu karunia-Mu dan mudahkanlah bagiku gudang-gudang keagungan-Mu, dengan rahmat-Mu, wahai Yang maha penyayang dari para penyayang.

Allāhumma innī wa ahlī wa awlādī nas aluka an taftaha lanā bikulli khayrin, wa an taj’alanā min ahlil khayri, wa an tahfazhanā fī adyāninā wa anfusinā wa awlādinā wa ahlinā wa ashhābinā wa ahbābinā min kulli mihnatin wafitnatin wabu`sin wadhayrin, innaka waliyyu kulli khayrin wamutafadhdhilun bikulli khayrin wamu’thin likulli khayrin.

Ya Allah, sesungguhnya aku, keluargaku, dan anak-anakku, meminta kepada-Mu agar Engkau membukakan bagi kami segala kebaikan, dan menjadikan kami termasuk ahli kebaikan, dan Engkau menjaga kami dalam urusan agama kami, diri-diri kami, anak-anak kami, keluarga kami, para sahabat kami dan orang-orang yang mencintai kami, dari setiap cobaan, fitnah, kesialan dan bahaya, sesungguhnya Engkau penguasa setiap kebaikan, Yang mengungguli dalam segala kebaikan, dan Yang paling suka mengerjakan kebaikan.

Allāhumma innā nas aluka lanā walahum shihhatan fī taqwā, wa thūla ‘umrin fī husni ‘amalin, warizqān wāsi’ān lā tu’adzdzibnā ‘alayhi walā tu ākhidznā bisayyi āti a’mālinā, warzuqnāt tawbatal khālishatal māhiyata lidzdzunūbil mūshilata ilā kulli khayrin mathlūbin wa ‘amalin margūbin.

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu bagi kami dan mereka kesehatan dalam takwa, panjang umur dalam kebaikan amal, dan rizki yang luas yang Engkau tidak menyiksa kami karenanya, dan Engkau tidak segera menghukum kami karena kejelekan amal-amal kami. Rizkikanlah untuk kami taubat yang tulus yang menghapus dosa-dosa dan menjadi jalan menuju setiap kebaikan yang diinginkan dan amal yang diharapkan.

Allāhumma innā natadharra’u wanatasyaffa’u ilayka bil habībil mahbūbi sayyidinā muhammadin ‘abdika warasūlikal wāsithatil ‘uzhmā ladayka an talthif binā luthfān syāmilān jaliyyān wa khafiyyān tuqirru bihil ‘aynu wayuqdhā bihid daynu, daynud dunyā wal ākhirati, wa tansyarihu bihish shudūru, watuyassaru bihil umūru, wayujma’usy syamlu, wayakmulu bihil khayrātu was surūru, watadurru bihil barakātu wal khuyūru, warzuqnā kamālal ikhlāshi fīl a’māli wal aqwāli ‘indan qidhā il ājāli.

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri, dan meminta syafaat kepada-Mu dengan bertawasul melalui kekasihnya Dzat yang hak dicintai, yaitu tuan kami Muhammad, hamba dan rasul-Mu, sang penengah agung di sisi-Mu, agar Engkau berlaku lembut kepada kami dengan kelembutan yang meliputi setiap keadaan kami, menghilangkan setiap kekurangan kami, dan menutupi setiap kesalahan kami, yang karenanya jiwa menjadi tenang, hutang-hutang dunia maupun akhirat terlunasi, dada menjadi lapang, setiap urusan menjadi mudah, kebaikan perangai dan dunia terhimpun, kebajikan dan rahasia-rahasia hikmah tersempurnakan, berkah dan berbagai kelebihan pun tercurah. Dan rizkikanlah kepada kami kesempurnaan ikhlas dalam perbuatan maupun ucapan hingga ajal menjemput.

Washallillāhumma ‘alā sayyidi ahlil kamālil makhshūshi bil iqbāli wal ittishāli wal kamāli wal jalāli wal jamāli, wa ‘alā ālihi khayri kulli ālin wa ashhābihir rijāli, wa ‘alā tābi’īhim ilā yawmil māli, āmīn allāhumma āmīn, wasalāmun ‘alāl mursalīna, wa ākhiru da’wānā anil hamdulillāhi rabbil ‘ālamīna.

Berkah dan rahmat, ya Allah, curahkanlah kepada junjungan kami pemilik kesempurnaan yang diistimewakan dengan penerimaan, wasilah, kesempurnaan, keagungan dan keindahan, juga kepada keluarganya yang sebaik-baik keluarga, dan kepada para sahabat sejatinya, serta kepada para peneladan mereka hingga hari perhitungan. Amin, ya Allah, amin. Salam sejahtera kepada para utusan Allah. Dan kami akhiri doa kami ini dengan ucapan alhamdulillāhi rabbil ‘ālamīn.



Selengkapnya...

Habib 'Abdurrahman Al-Habsyi

Cerita mengenai habib kudengar langsung dari adiknya yang tahun ini berusia 73 tahun . Aku biasa memanggil kakak seibu ayahku ini, “bah Amang”. Di kalangan para sesepuh habaib, seperti oleh Habib Alwi Al-Hadad, Habib Ali Kwitang dan Habib Muhammad Zein, ia biasa disebut “busybusy” (bushbush atau busbus; semuanya memiliki arti yang hampir berdekatan: “Kekasih Tuhan yang menyampaikan pengajaran melalui cara-cara yang nyentrik dan ceria”).

Habib memiliki cara-cara yang unik dalam mengajar agama. Ia datangi setiap orang yang akan diajarinya, tanpa perjanjian atau pembicaraan terlebih dahulu dengan orang itu. Jumlah mereka yang pernah menerima pengajaran langsung ini, termasuk ayahku, hanya sebelas orang. Habib bilang, Allah mengajar hamba pilihan-Nya tentang agama-Nya dengan “menemuinya” langsung, tanpa diminta. Dan hamba pilihan-Nya itu, yang sebaik-baik makhluk, pun telah menyampaikannya ke para sahabatnya, tanpa menunggu mereka mendatanginya, tapi beliau yang mendatangi mereka!

Habib biasa membangunkan adiknya pada jam satu dini hari. “Qum, qum, yā farid. Qum! (bangun, bangun, ya Farid. Bangun!) tawadhdha`! (wudu, sana!).” Kalau sudah begitu adiknya yang saat itu masih berusia belasan tahun, dengan berat dan tidak jarang ngedumel, harus menurutinya karena bagaimanapun habib tidak akan berhenti membangunkan.
Setelah adiknya berwudu dan duduk diam di depannya, habib lalu membaca halaman demi halaman kitab Fathul Mu’in, sebanyak yang dikehendakinya, sementara adiknya susah payah berusaha menyimaknya.

Habib terus membaca, dan sesekali berhenti untuk menjelaskan, tidak peduli apakah adiknya mendengarkannya sambil duduk atau berbaring, sambil terkantuk-kantuk atau menguap berkali-kali. Bahkan pernah suatu malam menjelang subuh, istri habib, Syarifah Khadijah binti Salim Al-Habsyi, berteriak: “Dasar! Kaka jeung adi sarua gelo! Adina sare, kakana terus wae ngocoblak! (Dasar! Kakak dan adik sama-sama gila! Adiknya tidur, kakaknya terus saja ngomong!),” rupanya saat itu adiknya tertidur, dan habib terus saja membaca dan menjelaskan isi kitab Fathul Mu’in.

Anehnya, kata adiknya, walaupun dalam kondisi bergulat dengan kantuk seperti itu, persoalan-persoalan yang dibacakan dan dijelaskan oleh habib, terekam dengan jelas, sehingga setiap kali ia mendapat persoalan yang sama, bacaan atau penjelasan kakaknya itu tereview dengan nyata dalam akalnya.

Adapun kepada sepuluh orang yang lainnya, habib mendatangi mereka, satu per satu. Habib bertanya apa yang sedang atau ingin dipelajari. Kalau dijawab, tasawuf, atau balaghah, misalnya, maka habib akan menyuruh orang itu membawa kitab yang berisi pelajaran tersebut, kadang habib menentukan kitab yang dimaksud, kadang diserahkan kepada orang yang bersangkutan untuk memilih sendiri kitabnya.

Kemudian, jika kitab tersebut sudah ada, habib menyuruh orang itu membaca di hadapannya, dan sesekali habib menyuruhnya berhenti membaca apabila habib akan memperbaiki bacaannya, mengoreksi kesalahan-kesalahannya, dan menjelaskan persoalan-persoalan peliknya. Tidak ada sesi tanya jawab, karena setiap orang dapat memahami apa yang dibacanya dan apa yang dijelaskan oleh habib.

Habib sesekali menghadiri majlis-majlis pembahasan agama. Tidak secara formal memang, kata adiknya, bahkan seseringnya datang ketika majlis sudah hampir selesai, dengan pakaian seadanya karena biasanya langsung datang ke majlis sehabis berjualan minyak wangi ke luar kota Bogor. Namun seperti layaknya orang yang mengikuti pembahasan sejak dari awal, ketika diminta berbicara, habib akan mengupas kembali tiap-tiap pembicaraan atau pendapat setiap yang hadir dengan jitu dan lebih baik.

Cara habib memberi pengajaran kadang “menjengkelkan”. Berkali-kali seseorang yang dipanggil “Gan ...” (aku lupa, padahal adik habib jelas menyebutkan namanya) diajari dengan sangat keras oleh habib. Detil dan lama sekali. Habib terus memaksa orang itu untuk membaca dan konsentrasi menyimak penjelasannya dengan seksama, meski berkali-kali orang itu merengek dan mengeluh sudah sangat capek.

Sewaktu ditanya kenapa berbuat begitu, dan hanya kepada orang itu saja. Habib menjawab singkat: “Dia berurusan dengan akal-akal yang susah ditenteramkan.” (Dan benar, kata adiknya, kelak orang itu menjadi tempat bertanya para terpelajar modernis di lingkungan P dan K saat itu).

Pernah seseorang yang salah seorang anggota keluarganya sakit keras, datang kepada Habib Alwi Al-Hadad, minta doa sambil membawa segelas air putih.

Habib Alwi menyerahkan gelas air putih itu kepada keponakannya, yang tidak lain adalah Habib ‘Abdurrahman, yang saat itu duduk tepat di samping kanannya. “Tafadhdhal, yā Busybusy (engkau lebih pantas mendoakannya, ya Busybusy),” kata habib Alwi.

Habib ‘Abdurrahman menerima gelas itu, tapi bukannya berdoa malah air itu diminumnya hingga tersisa kurang dari satu sendok teh. Lalu diberikannya gelas itu kepada orang yang minta “air doa”. “Ini, syukran (terimakasih)!” katanya.

Habib Alwi diam dan hanya menggeleng-gelengkan kepala, sementara orang yang minta air doa benar-benar dibuat bingung bercampur gusar. “Bagaimana ini?!” teriaknya. Dan seperti biasa, adiknyalah yang kebagian menenangkan orang-orang yang terkena kebusybusyan kakaknya, seperti peminta air doa kali ini. Kata adiknya: “Tidak perlu bingung. Habib pasti mendoakan. Hanya kalau saudara merasa lebih tenteram bila meminumkan air atau membasuhkannya kepada si sakit, campur saja sisa minum habib itu dengan air, sebanyak yang saudara perlukan.” Ketika orang itu terlihat masih ragu, adiknya akan berkata seperti biasa: “Percayalah. Aku adiknya habib,” dan seperti biasanya juga ucapan ini cukup mengembalikan keyakinan orang-orang itu. Terlebih ketika Allah memberi kesembuhan kepada si sakit setelah (entah berhubungan atau tidak. Wallāhu a’lam!) berkali-kali diminumkan dan dibasuhkan air yang dicampur sisa minum habib.

Habib ‘Abdurrahman sendiri ketika dikritik adiknya hanya berkata: “Lho, apa salahku. Orang itu minta doa kan? Dan aku sudah langsung ikut mendoakan ketika ia memintanya kepada pamanku. Lalu pamanku mempersilahkan aku meminum segelas air putih (ungkapan tafadhdhal memang biasanya berarti silahkan), ya aku minum!”

(he, he, he ... banyak kejadian nyentrik lainnya berkenaan dengan habib yang diceritakan oleh adiknya, bahkan para habaib sendiri pernah “dibuat kelimpungan” oleh kebusybusyannya).

Ada satu hal, untuk semua “jasa” itu, habib tidak pernah mau menerima upah. Kalau orang menitipkan upah itu kepada istrinya, adiknya, atau siapa saja, dan habib tahu itu adalah “balas jasa”, habib akan berkata kepada sipenerima titipan: “Kalau kamu mau ambillah seperlumu, atau lebih baik kamu bagikan kepada fakir-miskin dan yatim.” Hadiah-hadiah orang, habib ambil sedikit, selebihnya disedekahkannya. Hidupnya sangat sederhana. Nafkah keluarganya habib cukupi dengan berdagang asongan minyak wangi, atau memperbaiki alat-alat listrik orang, terutama lampu-lampu neon, mungkin itu sebabnya pamanku ini dipanggil “Habib Neon”. Allāhumma shalli ‘alā muhammadin wa ‘alā āli muhammadin.
Selengkapnya...

03 September 2010

Imam Ali

Beliau adalah ‘Ālī Ibn Abī Thālib. Keponakan dan menantu Nabi. Hidupnya penuh kesederhanaan dan kesalehan. Sangat murah hati dan dermawan. Sebagian besar upah kerjanya sebagai buruh dibagikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang kelaparan. Tidak pernah ia membiarkan seorang peminta-minta meninggalkan rumahnya dengan tangan hampa atau kecewa bahkan di hari-hari yang paling sulit dan kekurangan bagi dirinya dan keluarganya.


Biasanya hati seorang pemurah dan dermawan dikuasai oleh rasa kasihan sehingga akan terasa pedih baginya menyaksikan penderitaan orang, dan hampir tidak mungkin mendampingkan perasaan ini dengan rasa marah dan benci. Pepatah Arab mengatakan: “Kegarangan tidak dapat diharapkan dari Hatim si penyantun, kemurahan hati dari Rustam si penakluk.” Namun tidak demikian bagi Ali, ia orang yang paling tidak tega melihat penderitaan orang lain, tetapi ia juga orang yang paling berani dan garang menyembelih orang dalam jihad.

Sulit bagi seorang asketis untuk sekaligus menjadi pahlawan perang yang ganas, atau sebaliknya, tetapi tidak bagi Ali. Malam hari di Harir, Shiffin, Ali membentangkan sajadahnya lalu tenggelam dalam salat-salat dan zikir-zikir malamnya, tangis dan suara khas kesenduan munajatnya pecah sepanjang malam itu. Anak panah dan batu yang sesekali memenuhi udara di atas kepala dan di samping kanan dan kiri tubuhnya, tidak sedikitpun dapat mengganggu ibadat dan khusyunya. Kemudian ketika pertempuran sampai ke tempatnya, Ali pun menghentikan qiyamullailnya dan langsung terjun ke dalam pertempuran. Dan setiap kali ia bertakbir, satu orang lawan dipastikan tewas di tangannya. Orang-orang menghitung takbir Ali saat itu tidak kurang dari 523 kali.

Hal lain yang sulit berdampingan tapi mudah bagi Ali adalah meski ia orang yang paling total dalam mengerjakan kesibukan-kesibukan material (seperti berperang atau bekerja menghidupi keluarga), tetapi hasratnya untuk belajar dan berpikir tidak pernah redup.

Tepat apa yang dikatakan Imam Syafi’i tentangnya: “Apa yang dapat kukatakan tentang orang yang dalam dirinya berdampingan tiga sifat dengan tiga sifat lainnya yang tidak pernah ada pada orang selainnya: “Kemurahan hati dan berkekurangan, kegarangan dan berkebajikan, pengetahuan dan prestasi amal.”

Sepeninggal Khalifah Utsman, Ali menerima semata karena darurat jabatan Khalifah yang ia pangku selama lima tahun yang penuh pemberontakan, termasuk yang paling sengit pemberontakan Mu’awiyah, mantan Gubernur Suriah. Ali dibunuh di Kufah tahun 40 H./661 M. oleh seorang pengikut sekte Khawarij ekstrem yang mengafirkan Ali karena menyetujui perundingan dengan pihak Mu’awiyah.
Selengkapnya...

09 Januari 2010

Satu Sifat Sahabat Rasul


Pagi, alhamdulillah saya berkesempatan bersilaturahim dengan salah seorang teman. "Yang saya tahu tentang sahabat Rasul ..." katanya, "adalah mereka selalu berusaha mempelopori kebaikan dan tidak pernah meninggalkannya selain karena kondisi yang benar-benar mengharuskan."


Suatu hari 'Ali dan puteri Nabi, istrinya, mendatangi Nabi. Mereka mengadukan beratnya hidup berumah tangga dan meminta bantuan kepada beliau untuk berkenan meringankan beban mereka.

Nabi tersenyum. "Hari ini aku memang memperoleh bagian sejumlah harta dan budak dari sebuah peperangan," kata Nabi : "Tapi ..." Sejenak Nabi menghela nafas; terasa sedemikian berat bagi 'Ali dan puteri Nabi merasakan debar dada atas kemungkinan besar harapan mereka akan terkabul.

"Aku tidak mungkin membiarkan keluargaku mendapat sedikit keringanan, sementara para fakir Ahli Suffah setiap hari selalu dirundung oleh beratnya hidup di beranda-beranda Masjid tanpa sedikit pun mengecap keringanan." Wajah Nabi berubah serius.

'Ali dan Fatimah menghela nafas. Mereka segera pulang dengan duka setelah mengucap salam kepada Nabi.

Sesampainya di rumah, rasa duka bercampur letih dan lapar, memaksa mereka berbaring ditempat tidur. Dan tidak berapa lama, Nabi datang dan ikut berbaring di antara mereka. Tangan beliau menarik lembut selimut usang untuk menutupi tubuh mereka bertiga. Lalu beliau berkata :

"Anak-anakku. Di dunia ini tidak ada yang sangat kusayangi melebihi cintaku pada kalian. Aku dan kalian mendapat keistimewaan dari Allah, lebih dari orang-orang lain, lantaran kasih kita kepada sesama. Jika kalian merasakan beratnya hidup, hendaklah sebelum tidur, ketika kalian berbaring miring ke kanan menghadap kiblat, bacalah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali, dan genapkanlah menjadi seratus dengan tahlil."

Jauh setelah Nabi wafat, 'Ali berkata : "Sejak itu, aku tidak pernah meninggalkan membaca zikir-zikir tersebut."

"Juga sewaktu terjadi peperangan hebat melawan Khawarij?" sela Ibnu Kawwa.

"Ya!" tegas 'Ali.

Begitu juga 'Umar, setelah dia mendengar Nabi berkata bahwa tidak boleh seseorang menyimpan wasiat yang ingin disampaikannya, lebih dari 2 malam, kecuali dalam bentuk tertulis. Maka 'Umar berkata : "Sejak aku mendengar hal itu dari Nabi, tidak pernah aku lewatkan malam, kecuali aku sudah tuliskan wasiat dan kusimpan di bawah bantalku."

Jadilah pelopor kebaikan, bila anda sudah tahu, dan jangan pernah meninggalkannya.

Selengkapnya...

18 Desember 2009


Hingga tahun ini, ibarat cermin, mudah bagiku menunjukkan wajah asli orang lain, tetapi untuk melihat wajah asliku, aku masih butuh cermin jernih lain!



Dimana cermin itu? Bantu aku menemukan. Please!!!
Selengkapnya...

HAPPY NEW YEAR, HAPPY HIJRIYAH!


Tidak ada yang istimewa dari penyebab lahirnya penanggalan Hijriyah. Kebutuhan memiliki penanggalan muncul seiring meluasnya wilayah kekhilafahan Islam di masa pemerintahan Umar ibnul-Khaththab. Yang menarik adalah, dari sekian banyak peristiwa penting sepanjang sejarah Islam, Ali ibnu Abi Thalib mengusulkan agar penanggalan dihitung mulai dari peristiwa hijrahnya Rasul ke Madinah (Rabiul-Awwal tahun ke-13 kenabian).


Kenapa hijrah?

Tentu saja bukan lantaran sebutannya jadi kurang enak didengar; misalnya bukan Hijriyah tetapi Futuhiyah kalau penghitungannya dimulai dari peristiwa penaklukkan Makkah, atau Wadaiyah jika dimulai dari haji terakhir Rasul, di mana beliau banyak menyampaikan pesan-pesan futuristik demi kemajuan Islam, atau Khaibariyah jika dimulai dari penaklukan Khaibar sebagai puncak pemberangusan kekuatan-kekuatan jahat Yahudi di wilayah Islam, atau Tha'ifiyah jika dimulai dari peristiwa dakwah Rasul ke Thaif yang heroik, atau Bi'tsahiyah jika dimulai dari peristiwa pengangkatan Muhammad SAW selaku Nabi dan Rasul, dan sebagainya.

Memang tidak ada data sejarah yang menjelaskan alasan ketika sidang khusus penetapan penanggalan ini menerima secara bulat usulan Ali; tetapi berbagai spekulasi telah banyak diungkapkan oleh para ahli dalam karya-karya tulis mereka, dan semua membahas tentang MAKNA HIJRAH BAGI KEMAJUAN ISLAM DAN KAUM MUSLIMIN. Bagaimana menurut kita?

Selamat Tahun Baru Hijriyah!
Selengkapnya...