Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

21 Oktober 2010

Habib 'Abdurrahman Al-Habsyi

Cerita mengenai habib kudengar langsung dari adiknya yang tahun ini berusia 73 tahun . Aku biasa memanggil kakak seibu ayahku ini, “bah Amang”. Di kalangan para sesepuh habaib, seperti oleh Habib Alwi Al-Hadad, Habib Ali Kwitang dan Habib Muhammad Zein, ia biasa disebut “busybusy” (bushbush atau busbus; semuanya memiliki arti yang hampir berdekatan: “Kekasih Tuhan yang menyampaikan pengajaran melalui cara-cara yang nyentrik dan ceria”).

Habib memiliki cara-cara yang unik dalam mengajar agama. Ia datangi setiap orang yang akan diajarinya, tanpa perjanjian atau pembicaraan terlebih dahulu dengan orang itu. Jumlah mereka yang pernah menerima pengajaran langsung ini, termasuk ayahku, hanya sebelas orang. Habib bilang, Allah mengajar hamba pilihan-Nya tentang agama-Nya dengan “menemuinya” langsung, tanpa diminta. Dan hamba pilihan-Nya itu, yang sebaik-baik makhluk, pun telah menyampaikannya ke para sahabatnya, tanpa menunggu mereka mendatanginya, tapi beliau yang mendatangi mereka!

Habib biasa membangunkan adiknya pada jam satu dini hari. “Qum, qum, yā farid. Qum! (bangun, bangun, ya Farid. Bangun!) tawadhdha`! (wudu, sana!).” Kalau sudah begitu adiknya yang saat itu masih berusia belasan tahun, dengan berat dan tidak jarang ngedumel, harus menurutinya karena bagaimanapun habib tidak akan berhenti membangunkan.
Setelah adiknya berwudu dan duduk diam di depannya, habib lalu membaca halaman demi halaman kitab Fathul Mu’in, sebanyak yang dikehendakinya, sementara adiknya susah payah berusaha menyimaknya.

Habib terus membaca, dan sesekali berhenti untuk menjelaskan, tidak peduli apakah adiknya mendengarkannya sambil duduk atau berbaring, sambil terkantuk-kantuk atau menguap berkali-kali. Bahkan pernah suatu malam menjelang subuh, istri habib, Syarifah Khadijah binti Salim Al-Habsyi, berteriak: “Dasar! Kaka jeung adi sarua gelo! Adina sare, kakana terus wae ngocoblak! (Dasar! Kakak dan adik sama-sama gila! Adiknya tidur, kakaknya terus saja ngomong!),” rupanya saat itu adiknya tertidur, dan habib terus saja membaca dan menjelaskan isi kitab Fathul Mu’in.

Anehnya, kata adiknya, walaupun dalam kondisi bergulat dengan kantuk seperti itu, persoalan-persoalan yang dibacakan dan dijelaskan oleh habib, terekam dengan jelas, sehingga setiap kali ia mendapat persoalan yang sama, bacaan atau penjelasan kakaknya itu tereview dengan nyata dalam akalnya.

Adapun kepada sepuluh orang yang lainnya, habib mendatangi mereka, satu per satu. Habib bertanya apa yang sedang atau ingin dipelajari. Kalau dijawab, tasawuf, atau balaghah, misalnya, maka habib akan menyuruh orang itu membawa kitab yang berisi pelajaran tersebut, kadang habib menentukan kitab yang dimaksud, kadang diserahkan kepada orang yang bersangkutan untuk memilih sendiri kitabnya.

Kemudian, jika kitab tersebut sudah ada, habib menyuruh orang itu membaca di hadapannya, dan sesekali habib menyuruhnya berhenti membaca apabila habib akan memperbaiki bacaannya, mengoreksi kesalahan-kesalahannya, dan menjelaskan persoalan-persoalan peliknya. Tidak ada sesi tanya jawab, karena setiap orang dapat memahami apa yang dibacanya dan apa yang dijelaskan oleh habib.

Habib sesekali menghadiri majlis-majlis pembahasan agama. Tidak secara formal memang, kata adiknya, bahkan seseringnya datang ketika majlis sudah hampir selesai, dengan pakaian seadanya karena biasanya langsung datang ke majlis sehabis berjualan minyak wangi ke luar kota Bogor. Namun seperti layaknya orang yang mengikuti pembahasan sejak dari awal, ketika diminta berbicara, habib akan mengupas kembali tiap-tiap pembicaraan atau pendapat setiap yang hadir dengan jitu dan lebih baik.

Cara habib memberi pengajaran kadang “menjengkelkan”. Berkali-kali seseorang yang dipanggil “Gan ...” (aku lupa, padahal adik habib jelas menyebutkan namanya) diajari dengan sangat keras oleh habib. Detil dan lama sekali. Habib terus memaksa orang itu untuk membaca dan konsentrasi menyimak penjelasannya dengan seksama, meski berkali-kali orang itu merengek dan mengeluh sudah sangat capek.

Sewaktu ditanya kenapa berbuat begitu, dan hanya kepada orang itu saja. Habib menjawab singkat: “Dia berurusan dengan akal-akal yang susah ditenteramkan.” (Dan benar, kata adiknya, kelak orang itu menjadi tempat bertanya para terpelajar modernis di lingkungan P dan K saat itu).

Pernah seseorang yang salah seorang anggota keluarganya sakit keras, datang kepada Habib Alwi Al-Hadad, minta doa sambil membawa segelas air putih.

Habib Alwi menyerahkan gelas air putih itu kepada keponakannya, yang tidak lain adalah Habib ‘Abdurrahman, yang saat itu duduk tepat di samping kanannya. “Tafadhdhal, yā Busybusy (engkau lebih pantas mendoakannya, ya Busybusy),” kata habib Alwi.

Habib ‘Abdurrahman menerima gelas itu, tapi bukannya berdoa malah air itu diminumnya hingga tersisa kurang dari satu sendok teh. Lalu diberikannya gelas itu kepada orang yang minta “air doa”. “Ini, syukran (terimakasih)!” katanya.

Habib Alwi diam dan hanya menggeleng-gelengkan kepala, sementara orang yang minta air doa benar-benar dibuat bingung bercampur gusar. “Bagaimana ini?!” teriaknya. Dan seperti biasa, adiknyalah yang kebagian menenangkan orang-orang yang terkena kebusybusyan kakaknya, seperti peminta air doa kali ini. Kata adiknya: “Tidak perlu bingung. Habib pasti mendoakan. Hanya kalau saudara merasa lebih tenteram bila meminumkan air atau membasuhkannya kepada si sakit, campur saja sisa minum habib itu dengan air, sebanyak yang saudara perlukan.” Ketika orang itu terlihat masih ragu, adiknya akan berkata seperti biasa: “Percayalah. Aku adiknya habib,” dan seperti biasanya juga ucapan ini cukup mengembalikan keyakinan orang-orang itu. Terlebih ketika Allah memberi kesembuhan kepada si sakit setelah (entah berhubungan atau tidak. Wallāhu a’lam!) berkali-kali diminumkan dan dibasuhkan air yang dicampur sisa minum habib.

Habib ‘Abdurrahman sendiri ketika dikritik adiknya hanya berkata: “Lho, apa salahku. Orang itu minta doa kan? Dan aku sudah langsung ikut mendoakan ketika ia memintanya kepada pamanku. Lalu pamanku mempersilahkan aku meminum segelas air putih (ungkapan tafadhdhal memang biasanya berarti silahkan), ya aku minum!”

(he, he, he ... banyak kejadian nyentrik lainnya berkenaan dengan habib yang diceritakan oleh adiknya, bahkan para habaib sendiri pernah “dibuat kelimpungan” oleh kebusybusyannya).

Ada satu hal, untuk semua “jasa” itu, habib tidak pernah mau menerima upah. Kalau orang menitipkan upah itu kepada istrinya, adiknya, atau siapa saja, dan habib tahu itu adalah “balas jasa”, habib akan berkata kepada sipenerima titipan: “Kalau kamu mau ambillah seperlumu, atau lebih baik kamu bagikan kepada fakir-miskin dan yatim.” Hadiah-hadiah orang, habib ambil sedikit, selebihnya disedekahkannya. Hidupnya sangat sederhana. Nafkah keluarganya habib cukupi dengan berdagang asongan minyak wangi, atau memperbaiki alat-alat listrik orang, terutama lampu-lampu neon, mungkin itu sebabnya pamanku ini dipanggil “Habib Neon”. Allāhumma shalli ‘alā muhammadin wa ‘alā āli muhammadin.

Related Posts by Categories



2 komentar:

  1. Hey keep posting such good and meaningful articles.

    BalasHapus
  2. Afwan...klo blh tau habib amang al habsyi di makamkan dmn...dan bin nya siapa...syukron

    BalasHapus