Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

03 September 2010

Imam Ali

Beliau adalah ‘Ālī Ibn Abī Thālib. Keponakan dan menantu Nabi. Hidupnya penuh kesederhanaan dan kesalehan. Sangat murah hati dan dermawan. Sebagian besar upah kerjanya sebagai buruh dibagikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang kelaparan. Tidak pernah ia membiarkan seorang peminta-minta meninggalkan rumahnya dengan tangan hampa atau kecewa bahkan di hari-hari yang paling sulit dan kekurangan bagi dirinya dan keluarganya.


Biasanya hati seorang pemurah dan dermawan dikuasai oleh rasa kasihan sehingga akan terasa pedih baginya menyaksikan penderitaan orang, dan hampir tidak mungkin mendampingkan perasaan ini dengan rasa marah dan benci. Pepatah Arab mengatakan: “Kegarangan tidak dapat diharapkan dari Hatim si penyantun, kemurahan hati dari Rustam si penakluk.” Namun tidak demikian bagi Ali, ia orang yang paling tidak tega melihat penderitaan orang lain, tetapi ia juga orang yang paling berani dan garang menyembelih orang dalam jihad.

Sulit bagi seorang asketis untuk sekaligus menjadi pahlawan perang yang ganas, atau sebaliknya, tetapi tidak bagi Ali. Malam hari di Harir, Shiffin, Ali membentangkan sajadahnya lalu tenggelam dalam salat-salat dan zikir-zikir malamnya, tangis dan suara khas kesenduan munajatnya pecah sepanjang malam itu. Anak panah dan batu yang sesekali memenuhi udara di atas kepala dan di samping kanan dan kiri tubuhnya, tidak sedikitpun dapat mengganggu ibadat dan khusyunya. Kemudian ketika pertempuran sampai ke tempatnya, Ali pun menghentikan qiyamullailnya dan langsung terjun ke dalam pertempuran. Dan setiap kali ia bertakbir, satu orang lawan dipastikan tewas di tangannya. Orang-orang menghitung takbir Ali saat itu tidak kurang dari 523 kali.

Hal lain yang sulit berdampingan tapi mudah bagi Ali adalah meski ia orang yang paling total dalam mengerjakan kesibukan-kesibukan material (seperti berperang atau bekerja menghidupi keluarga), tetapi hasratnya untuk belajar dan berpikir tidak pernah redup.

Tepat apa yang dikatakan Imam Syafi’i tentangnya: “Apa yang dapat kukatakan tentang orang yang dalam dirinya berdampingan tiga sifat dengan tiga sifat lainnya yang tidak pernah ada pada orang selainnya: “Kemurahan hati dan berkekurangan, kegarangan dan berkebajikan, pengetahuan dan prestasi amal.”

Sepeninggal Khalifah Utsman, Ali menerima semata karena darurat jabatan Khalifah yang ia pangku selama lima tahun yang penuh pemberontakan, termasuk yang paling sengit pemberontakan Mu’awiyah, mantan Gubernur Suriah. Ali dibunuh di Kufah tahun 40 H./661 M. oleh seorang pengikut sekte Khawarij ekstrem yang mengafirkan Ali karena menyetujui perundingan dengan pihak Mu’awiyah.

Related Posts by Categories



3 komentar:

  1. wirda15:20

    subhanallah.....
    mnyentuh qalbu banged^_^

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, akhirnya d up date jg artikelnya. he he he..!
    Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib yang memotivasi saya untuk menulis adalah: "Ikatlah Ilmu dengan menuliskannya.."
    Gak salah jika Rasul memberinya gelar Babul 'Ilmi..!

    BTW, syukron komen d blog saya. Karena semakin melengkapi isi artikelnya.
    Jazakillahi Khairan Katsir

    Salam Silaturahmi

    BalasHapus
  3. salam silaturahmi...
    nice post..
    ayoayo maen ke blog saya yuuk:

    http://uzi-online.blogspot.com

    thanks yaah sebelumnya..

    BalasHapus