Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

27 April 2009

KEADILAN TUHAN: Jawaban Global

Mengapa sebagian diciptakan berbeda dengan sebagian yang lainnya? Mengapa ada manusia berkulit putih dan ada pula manusia berkulit hitam? Mengapa yang satu cantik dan yang lain jelek? Mengapa yang satu sempurna dan yang lain cacat? Mengapa di antara makhluk-makhluk Allāh hanya manusia saja yang siap menerima kewajiban, pahala, dan sanksi? Mengapa makhluk-makhluk yang lain tidak diberi kesiapan seperti yang diberikan kepada manusia? Apabila persoalan menerima amanah itu merupakan hal yang baik, maka mengapa makhluk-makhluk selain manusia tidak diberi kesiapan untuk itu? Dan kalau persoalan tersebut merupakan suatu keburukan, maka mengapa manusia diizinkan memikulnya? Dan sebagainya, dan sebagainya.


Dalam persoalan-persoalan semacam itu, orang-orang beriman puas dengan jawaban global – dan tidak diragukan lagi bahwa jawaban ini adalah benar. Seseorang memang tidak dibebani tugas untuk terjun ke dalam persoalan-persoalan pelik dan rinci, karena kebanyakan tidak memiliki potensi untuk memasukinya, bahkan dilarang sama sekali! Jangan sia-siakan waktu untuk menyelami persoalan-persoalan demikian. Sebaiknya gunakanlah untuk menganalisis persoalan-persoalan yang mudah dipahami dan gunakanlah dalam medan yang praktis. “Siapa saja yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, niscaya Allāh akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.” (Diriwayatkan oleh Abū Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan jalur periwayatan yang lemah).

Jawaban global atas persoalan-persoalan demikian ialah : “Ada dalil-dalil yang sangat meyakinkan tentang adanya Allāh yang Mahakuasa, Mahamengetahui, dan Mahabijaksana, dan tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Allāh itu zalim atau terpaksa berbuat zalim, karena Allāh tidak akan memusuhi seseorang sampai Dia harus memakan haknya, dan tidak pula miskin sehingga harus menggelapkan hak seseorang untuk kemudian Dia kuasai. Yang mendorong kezaliman, kalau bukan karena ikatan psikologis pasti adanya kebutuhan. Ketika faktor tersebut tidak ada pada Allāh, maka sia-sia menisbatkan kezaliman kepada-Nya.

Persoalan-persoalan seperti di atas muncul di hadapan pemikiran manusia sebagai serangkaian persoalan yang tidak diketahui. Sejauh yang dapat kita katakan mengenainya ialah bahwa kita tidak mengetahuinya.

Kita telah mengetahui bahwa Allāh Mahamengetahui, Mahabijaksana, Mahakaya, Mahasempurna, Mahaadil, dan Mahamemberi kebaikan. Kalau demikian, maka setiap yang bersumber dari-Nya pasti didasarkan prinsip “kebijakan” dan “kemaslahatan”, kendatipun kita tidak dapat mengetahui kebijakan dan kemaslahatan tersebut dalam perbuatan-Nya menciptakan segala yang ada berbeda satu dengan yang lainnya. Termasuk hal yang tidak layak diklaim oleh manusia, bahwa ia dapat mengetahui segala rahasia wujud atau rahasia takdir, padahal dalam jangka waktu lebih dari ribuan tahun hingga saat ini manusia belum sanggup mengetahui seluruh rahasia badannya yang dapat diindera. Dengan demikian, setelah melihat hikmah dan pengaturan di dalam sistem alam yang membuat akalnya tumpul, manusia harus mengakui bahwa terdapat hikmah dalam berbagai hal yang tidak diketahuinya. Keterbatasan dan kekurangannya terletak pada dirinya, dan bukan pada penciptaan-Nya.

Seandainya seseorang membaca sebuah buku karya seorang cendikia yang sudah dikenalnya secara meyakinkan keluasan pengetahuan dan kekuatan berpikirnya, lalu ia menemukan uraian yang sangat mendalam dan pelik, maka ia harus memastikan dirinya sebagai orang yang belum dapat memahami maksud penulis buku tersebut. Ia tidak boleh berkesimpulan bahwa penulis buku tersebut telah dihinggapi kerancuan dalam menuliskan uraiannya itu, apalagi sampai berkesimpulan bahwasanya persoalan-persoalan yang dapat ia pahami adalah kebetulan saja. Seharusnya – dengan telah mengetahui kemampuan ilmiah penulisnya yang tidak perlu diragukan lagi – ia menyadari bahwa keterbatasan dan kekurangan terletak pada dirinya, dan bukan pada penulisnya.”

Orang-orang mu`min yang mencukupkan diri dengan jawaban global tersebut memandang persoalan-persoalan penciptaan yang tidak dapat dijelaskan itu sebagai sejenis hikmah dan kemaslahatan yang tidak dapat diketahui oleh manusia, dan yang mengetahuinya hanya Allāh.

Kesederhanaan jawaban ini tidak boleh dipandang sebagai ukuran kualitas mereka, sebab keutamaan di antara orang-orang beriman diukur dengan ketakwaan, rasa takut kepada Allāh, menjauhi hawa nafsu dan melakukan sesuatu yang lebih utama dalam pandangan syar’i.

Pertanyaan Terkait
Kegelisahan menyangkut persoalan keadilan Tuhan menyeruak seiring berbagai perubahan ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya zaman. Dalam ungkapannya yang bermacam-macam, pada dasarnya sama, yaitu mempertanyakan (keadilan) Tuhan.

Mengapa di alam ini terdapat ketidaksamaan dan perbedaan? Mengapa salah seorang di antara kita sempurna dan yang lain cacat? Mengapa yang satu hidupnya makmur dan yang lain melarat? Mengapa yang satu pandai yang lain tidak? Mengapa yang satu begitu mudah mengais nafkah bagi penghidupannya dan yang lain sangat sulit? Apabila harus berbeda, mengapa yang sempurna tidak jadi yang cacat, dan yang cacat tidak jadi yang sempurna? Mengapa yang hidupnya makmur tidak jadi yang melarat, dan yang melarat jadi yang hidupnya makmur?

Jadi, mengapa dilahirkan jika harus cacat? Bukankah betul-betul tidak ada itu lebih baik daripada ada tetapi cacat?

Mengapa sesuatu itu diciptakan lalu selanjutnya ditiadakan? Mengapa kematian pasti terjadi? Mengapa manusia dilahirkan ke dunia, dan setelah merasakan kelezatan hidup serta setelah tumbuh harapan untuk kekal di dunia, tiba-tiba dikirim ke alam lain?

Seandainya kita mampu memahami maslahatnya waktu yang terbatas bagi suatu wujud, bagaimana kita memaklumi adanya kekurangan? Untuk apakah kebodohan, kelemahan, dan kefakiran, padahal waktu hidup kita sangat sempit?

Bukankah suatu kezaliman, bila sesuatu yang telah diciptakan, kemudian tidak diberi kemampuan mewujudkan cita-cita dan kehendaknya? Bukankah menahan rahmat, kemampuan, potensi, dan kekayaan terhadap sesuatu yang membutuhkannya adalah merupakan kezaliman? Bukankah sesuatu yang sudah diciptakan memiliki hak dan keniscayaan-keniscayaan dalam kehidupannya, sehingga dengan demikian kebodohan, kelemahan, kemiskinan, kelaparan, dan yang lainnya termasuk jenis keterhalangan memperoleh hak?

Disamping persoalan ketidaksamaan dan perbedaan yang ada, dan kenyataan bahwa segala makhluk pasti akan binasa, serta kenyataan bahwa sebagian besar yang ada di dunia ini tidak memperoleh kelayakan hidup, kita pun bertanya : “Mengapa diciptakan bencana, bala, dan musibah yang menghalangi perjalanan hidup makhluk, sehingga kalau tidak mengalami kehancuran, pasti keberadaannya selalu disertai dengan penderitaan dan kesulitan? Mengapa ada bakteri jahat, penyakit, kezaliman, pemasungan kebebasan, pencurian, banjir, angin topan, gempa bumi, perpecahan, peperangan, pertikaian, permusuhan, setan, nafsu amarah, dan yang lainnya?”

Sumber Kebingungan
Sekali lagi, orang-orang mu`min yang mencukupkan diri dengan jawaban global memandang persoalan-persoalan penciptaan yang tidak dapat dijelaskan itu sebagai sejenis hikmah dan kemaslahatan yang tidak dapat diketahui oleh manusia, dan yang mengetahuinya hanya Allāh.

Namun, orang-orang yang pemahaman dan keyakinannya terhadap Allāh dipengaruhi oleh apa yang mereka temukan pada alam; mereka yang bisa yakin bahwa Allāh adalah Mahasempurna dan Mahaindah hanya apabila mereka mendapati bahwa alam, sebagai bukti perbuatan Allāh Yang Mahaindah itu, memang indah, dan sebagai bukti Allāh Yang Mahasempurna itu, memang sempurna; akan dilanda keresahan setiap kali mereka menemukan hal yang tidak dapat dimengerti di alam ini. Apalagi mereka yang menjadikan alam sebagai dasar pengetahuan mereka tentang Allāh, tentang kebijaksanaan-Nya, keadilan-Nya, ilmu-Nya dan kesempurnaan-Nya.

Pada dasarnya orang-orang itu melihat Allāh pada cermin alam saja. Jelas kekaburan yang mereka temukan pada cermin tersebut akan menyebabkan kekaburan pandangan mereka tentang sesuatu yang tercermin di dalamnya.

(nyambung)


Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar