Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

11 Mei 2009

BILA TERLANJUR BERDOSA (1)

Al-Qur-ān mengisahkan bagaimana etika Nabi Adam dan istrinya memohon ampun kepada Allāh setelah keduanya memakan buah pohon yang Allāh larang mereka dekati.

Mereka tidak memandang remeh kesalahan itu, walaupun yang mereka lakukan sebenarnya bukan pelanggaran terhadap keharaman yang Allāh wajibkan untuk dijauhi, karena bagi mereka kesalahan sekecil apapun terhadap Tuhan berarti kekurangan perilaku penghambaan mereka terhadap-Nya, dan merupakan penurunan komitmen mereka kepada Tuhan untuk menyukai apapun yang disukai-Nya dan membenci apapun yang tidak disukai-Nya.

Bagi mereka, kesalahan tetap kesalahan, yang akan mengakibatkan turunnya derajat kemuliaan mereka di antara para Nabi dan hamba pilihan Allāh, meskipun kesalahan mereka bukan pelanggaran yang pelakunya akan dikecam dan dikenai sanksi di dunia dan siksa di akhirat, karena larangan Allāh : “Janganlah kamu berdua mendekati pohon ini” (Qs. Al-A’rāf (7) : 19) adalah bersifat irsyādi, penyempurna perilaku kehambaan, bukan merupakan ketentuan hukum haram yang wajib dijauhi (taklīfi). Sama dengan yang dimaksud dalam hadits : “Janganlah kalian minum sekaligus seperti minumnya unta,” “Jangan kalian duduk di atas sutera atau kulit harimau,” “Jangan kalian mencabut uban,” “Bila salah seorang dari kalian kencing, jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanan, begitu pula ketika cebok. Dan jangan menghembuskan nafas di dalam gelas ketika minum,” “Jangan memaki demam,” dan sebagainya.

Jadi, kesalahan mereka adalah kesalahan yang bersifat khusus, yaitu berupa kekurangan pada perilaku penghambaan mereka terhadap Tuhan. Dan bagi orang seperti mereka yang telah mencapai tingkat kesalehan melebihi orang mu`min kebanyakan, kesalahan yang bersifat khusus ini tidak bisa dianggap sesuatu yang wajar. Karena itu dikatakan : hasanātu l-abrār sayyi-ātu l-muqarrabīn (hal yang sudah cukup baik bagi seorang mu`min kebanyakan, bisa jadi merupakan suatu kejelekan bagi mu`min yang telah mencapai kedekatan dengan Allāh).

Bagi sebagian hamba Tuhan, mungkin sudah cukup apabila ia mau mengerjakan hal-hal yang telah Allāh fardhukan, walaupun ia bersumpah tidak akan mengerjakan satu ibadat sunat pun. Tetapi bagi hamba Tuhan yang lain hal demikian kurang baik.

Nabi mengatakan tentang seorang A’rab yang bersumpah tidak akan mengerjakan satu ibadat sunat pun, tetapi ia tidak akan pernah mengurangi sedikit pun dari apa-apa yang telah Allāh fardhukan : “Beruntunglah ia, jika ia berlaku shiddiq. Masuklah ia ke surga, jika ia berlaku shiddiq,” (yaitu benar-benar memenuhi sumpahnya itu). Tetapi hal yang sama tidak beliau cukupkan bagi (sebagian) sahabatnya karena imannya para sahabat sudah seharusnya melebihi iman orang A’rab itu. Karena itu kepada ‘Abdullāh putera ‘Umar ibn l-Khaththāb, Nabi mengatakan : “Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullāh, seandainya ia suka shalat malam.” Dan kepada ‘Abdullāh putera ‘Amr ibn l-‘Āsh, Nabi berkata : “Janganlah kamu seperti si fulan. Tadinya ia suka shalat malam, kemudian ia meninggalkannya.” Begitu pula kepada Abū Bakr dan Hanzhalah yang mengadukan kepada beliau tentang keadaan pasang surutnya iman mereka, Nabi berkata : “Kalau kalian menetapi terus keadaan iman seperti saat kalian berada di majlisku (dimana kalian merasakan neraka dan surga benar-benar di depan mata), niscaya Malaikat akan menyalami kalian di majlis-majlis kalian, di atas kendaraan-kendaraan kalian, dan di pasar-pasar kalian. Namun, ya Hanzhalah, sā’atan, sā’atan,” (keimanan yang demikian perlu kalian usahakan terus dari waktu ke waktu).

Adanya perbedaan derajat penghambaan antara satu mu`min dengan mu`min yang lain, apalagi antara kita dengan para Nabi, bukan berarti sikap kita terhadap kesalahan juga jadi berbeda. Seorang ‘ābid yang menggelapkan hak orang lain misalnya, harus memiliki sikap yang sama terhadap kesalahannya dengan Nabi Adam, walaupun derajat kehambaan si ‘ābid tidak sebanding dengan beliau. “Mu`min melihat kesalahannya sebesar gunung yang tepat berada di atasnya. Ia takut sekali kalau-kalau gunung itu runtuh menimpa dirinya. Adapun munafik melihat dosanya bak seekor lalat yang terbang di depan hidungnya, sehingga tidak ia acuhkan,” begitu sabda Rasūlullāh.

Dengan demikian etika Nabi Adam memohon ampunan Allāh saat melakukan kesalahan, bukan etika khusus bagi kesalahan Nabi Adam saja, tetapi merupakan etika bagi setiap orang saat melakukan kesalahan apapun. Begitu pula keadaan batin yang mengiringi Nabi Adam ketika bertobat. Sehingga jika Nabi Adam menyadari betul kerugian yang harus ditanggung akibat menukar ketaatan terhadap irsyād ilāhi dengan kelezatan memakan buah pohon terlarang, demikian pula seharusnya orang yang melanggar perintah Allāh lainnya.

(nyambung)



Related Posts by Categories



1 komentar:

  1. Etika para Nabi ... Etika yang bersifat ilahiyah, alangkah indah kehidupan manusia jika semua mau mentauladaninya :)

    BalasHapus