Aku baru menyadari malam itu ketika hendak menulis. Segera kudatangi tempat terakhir kali kupakai flashdisk itu. Sebuah warnet yang tidak jauh dari tempat tinggalku. “Maaf, tidak ada tuh,” jawab si penjaga ketika kutanya barangkali ada flashdisk yang tertinggal di warnetnya. Sudah kuduga.
Aku jadi teringat baru malam kemarin, aku membantu Neylan, anak kelas enam SD yang akan ujian akhir madrasah, mengingat-ingat kembali pelajaran fiqh; salah satunya soal “barang temuan” (al-luqathah). “Walaupun hanya uang limapuluh perak yang ditemukan?” tanya Neylan gak ngerti setelah aku membacakan kewajiban penemu barang untuk mengumumkan barang temuannya tersebut. “Apa gunanya uang limapuluh?” kata Neylan lagi : “Repot amat. Mending gak usah dipungut!”
Pernyataan Neylan itu sangat menggelitik. “Gak demikian, neng,” kataku sambil mengulang kembali klasifikasi jenis barang temuan. “Pertama, jika barang itu benda bernilai tinggi atau mahal, seperti emas, perak, lukisan pakar, perabot antik, dan sebagainya, maka sipenemu harus mengumumkan benda temuan tersebut selama setahun di tempat-tempat yang diduga kuat sipemilik benda tersebut akan mencari atau berada di sana. Kedua, jika barang itu kurang atau tidak berharga, seperti sandal jepit, topi, pinsil, penggaris, dan sebagainya, maka sipenemu harus mengumumkan benda tersebut hingga waktu yang diduga kuat sipemilik sudah tidak lagi mencari-carinya.”
Kulirik Neylan sejenak. Tidak ada reaksi. Aku pun melanjutkan membaca keterangan mengenai barang temuan : “Selama masa pengumuman itu, benda tersebut harus dipelihara oleh sipenemu layaknya barang titipan (wadi-ah).”
“Apabila masa keharusan mengumumkan itu sudah habis, maka benda itu boleh dimanfaatkan oleh sipenemu, dan jika merupakan benda berharga, wajib dikeluarkan zakatnya seperlima bagian atau 20% dari harga benda tersebut.”
Neylan masih juga tidak bereaksi. “Jadi gimana, neng, kalau kita menemukan uang limapuluh perak?” tanyaku.
“Gak tahulah,” jawab Neylan ringan, membuatku nyengir (ngerti gak ya dia?) pikirku. Malam ini, giliranku yang bertanya-tanya : “Kalau menemukan flashdisk gimana ya?” Ah, sudahlah. Yang pasti, besok harus ada dana tidak terduga untuk membeli flashdisk lagi!
Nabi bersabda : “Yang halal itu sudah jelas. Begitu juga yang haram, sudah jelas. Di antara halal dan haram ada perkara-perkara yang samar (syubhāt) yang kebanyakan orang tidak mengetahui apakah ia halal ataukah haram. Maka siapa saja yang meninggalkan syubhāt karena hendak membersihkan keberagamaan dan kehormatannya, ia bakal selamat; dan siapa saja yang mencoba-coba syubhāt, maka dapat diduga ia akan terjatuh kepada hal-hal yang diharamkan, seperti halnya orang yang menggembalakan kambing-kambingnya di sekitar daerah terlarang, maka dapat diduga ia akan masuk ke daerah terlarang itu. Ingatlah, sesungguhnya setiap raja memiliki daerah larangan, dan sesungguhnya daerah larangan Allāh adalah semua yang diharamkan.” (Diriwayatkan oleh Bukhārī, Muslim dan Tirmidzī).
Pagi, kutanyai semua orang rumah barangkali mereka melihat flashdiskku. Semua menjawab tidak. “Bukannya di atas TV?” kata Sina. “Perasaan di atas kulkas deh,” kata Neylan. “Kapan itu?” tanyaku, “soalnya terakhir kali kupakai sekitar jam tiga sore.” “Oh ... aku sih lihat siang,” kata Sina dan Neylan hampir bersamaan. Sikaka yang bareng pergi dan pulang dari warnet mengatakan ia tidak melihat aku membawa-bawa flashdisk saat meninggalkan warnet. “Wah udah deh. Di warnet mah kalau sudah lebih dari satu jam, pasti flashdisk itu sudah hilang dibawa orang,” kata Jays.
(eh, Jays itu anak kelas tiga SMP, dan yang dipanggil si kaka itu adiknya. Neylan adiknya si kaka, dan Sina adik keduanya Neylan; di atas Sina ada Abang “i”, sedangkan di bawahnya ada Aang dan sibungsu, Haqqon. Anggota rumah semuanya sepuluh orang).
Ingatanku menerawang : Kalau benar flashdisk itu hilang di warnet, atau di mana sajalah, lalu ditemukan oleh seseorang, maka ketidak hati-hatianku telah menjadi sebab seseorang diuji oleh benda yang bukan miliknya. Bisakah ia menyelesaikan ujian itu dengan cara-cara yang dibenarkan Tuhan, ataukah ia akan menyelesaikannya dengan kebodohan atau tunduk kepada kesenangan ego. Kuberharap yang terbaik bagi sipenemu. Dan karena ketidak hati-hatianku juga terlibat di dalamnya, maka tidak berlebihan kiranya jika kuberdoa sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Imam ‘Āli bin Husain, putera sang cucu Rasul : “Tuhan, jika ada di antara hamba-hamba-Mu tertimpa akibat buruk karenaku, atau terkena gangguanku, atau sampai kepadanya dariku atau karenaku sesuatu perbuatan aniaya, sehingga ia terlanggar haknya atau menderita karenanya, maka limpahkanlah padanya karunia-Mu, dan sempurnakanlah haknya dengan pemberian-Mu, dan buatlah ia kembali ridha padaku. Kemudian, peliharalah aku dari apa yang diwajibkan oleh hukum-Mu, dan selamatkanlah diriku dari hukuman yang ditentukan oleh keadilan-Mu.”
(Tolong kembalikan flashdiskku!)
Hahaha, kasu keberapa kali tuh kang ? Ini see karena si akang kena penyakit profesor kali ... alias pelupa. Tapi bener juga tuh, aku sendiri baru saja tiga hari yg lalu ketinggalan Flash Disk di sebuah warnet. Ketika balik di tanyakan jawabannya persis sama : "ga tau ya mas", udah buntu klo jawaban kayak gitu.
BalasHapusAnggap "sodaqah yg harus di cegah penyebabnya saja", biar ga jadi kejelekan buat yg "nemu" dan "tidak mengembalikan", barangkali sangat penting dan berharga buat dia. hehe
Mudah"an dapet ganti yg lebih baik kang ... aamiin :)
sabar mungkin bisa membantu mas...
BalasHapusMinta kan ampun sama Tuhan aja mas, teguran dan pemabalasan hanya Dia yang berhak.
Itu setau saya..
Sampai bertemu di Puncak sukses