Hari itu, aku diminta menyediakan makan siang untuk sekitar limabelas orang tenaga kesehatan yang tengah mencanangkan program peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalku. “Nasi padang aja deh,” kata bu bidan di seberang sana. “Menunya?” tanyaku. “Ah samakan saja. Jangan lupa pake rendang,” jawab bu bidan. “Oke. Sebelum jam duabelas pesanan sudah siap deh. Aku hanya sebentar kok di sini. Cuma mau beli flashdisk,” kataku sambil lantas mengucapkan salam dan memutuskan sambungan telepon. (Masih ingat kan? Aku terpaksa beli flashdisk lagi karena flashdisk lamaku hilang entah di mana. Sampai sekarang, tidak ada kabar dari sipenemu, kalau memang ada yang menemukan! He, he, he ... kukira aku sudah bisa melupakannya).
“Ini, satu, untuk makan siang,” kata bu bidan sambil menyerahkan satu bungkus nasi kepadaku.
“Ngng.. apa gakkan kurang?” tanyaku ragu, tetapi tanganku sih reflek menerima juga bungkusan nasi itu.
“Tidak. Malah lebih. Tidak semua hadir,” jawab bu bidan. Ya sudah kalau begitu. Aku pun mengucapkan terimakasih, dan segera pulang.
Sesampai di rumah. Jays dan adik-adiknya (masih ingat mereka?) sedang bersiap-siap makan. Kulihat menunya perkedel kentang dan goreng tempe. Aku pun jadi tidak enak hati kalau harus makan nasi padang sendiri. “Sini, sini. Nih ada nasi padang,” kataku sambil membuka bungkusan nasi tadi. “Ambil nasi di piring masing-masing. Aduk nih dengan ini,” kataku sambil membagi-bagi rendangnya secuil-secuil, begitu pula bumbu dan nasinya.
Aku, Jays dan adik-adiknya makan siang dengan lahap. Begitu nikmat. Siang itu, semua merasakan lezatnya sebungkus nasi padang. Karena aku mau berbagi gitu?
Sewaktu persiapan untuk membuat parit pertahanan sepanjang 2 kilometer, lebar 3,6 meter, kedalaman 3 sampai 4 meter, di musim dingin dengan bekal makanan yang sangat minim. Dimana setiap 10 orang Muslim bertugas menggali sepanjang 16 meter dengan bekal satu genggam gandum kasar per orang per hari. Diam-diam, seorang sahabat bernama Jabīr ibn ‘Abdillāh mengundang Rasūlullāh yang terlihat sangat lapar untuk makan di rumahnya. Jabīr mewanti-wanti agar Rasūlullāh hanya mengajak beberapa orang sahabat saja karena makanan yang disediakan tidak banyak. Namun Rasūlullāh malah mengajak semua sahabat. 1000an orang kurang lebih. Dan semua makan sampai puas, bahkan keluarga Jabīr dan para tetangganya pun ikut merasakan. Padahal saat itu, yang dihidangkan Jabīr hanya satu ekor domba panggang dengan adonan yang terbuat dari delapan liter gandum.
Seorang wanita beriman, saudara perempuan An-Nu’mān ibn Bāsyir, datang ke tempat penggalian parit sambil membawa setangkup kurma untuk ayah dan pamannya. Namun Rasūlullāh meminta agar setiap Muslim dibolehkan mencicipi kurma tersebut. Saudara perempuan An-Nu’mān tidak keberatan, walaupun ia ragu apakah kurma itu bisa mencukupi? Namun kenyataannya setiap Muslim pada saat itu bisa merasakan lezatnya setangkup kurma tersebut.
Abū Hurairah merasa sudah tidak kuat lagi menahan lapar, tetapi ia malu untuk meminta makanan kepada Abū Bakr dan ‘Umar. Sehingga ketika ia menjumpai keduanya, ia malah menanyakan beberapa persoalan kaum Muslimin. Mulutnya tidak kuasa meminta, walaupun dalam hati ia berharap, Abū Bakr dan ‘Umar akan berkata : “Ngobrolnya di rumahku saja. Sambil makan-makan ala kadarnya. Agar lebih fresh.” Tetapi apa mau dikata, Abū Bakr maupun ‘Umar tidak dapat menangkap kata hatinya. Keduanya menerangkan beberapa persoalan yang ditanyakan, langsung di tempat.
Akhirnya, Abū Hurairah hanya menganguk lemah ketika Abū Bakr dan ‘Umar pamit untuk meneruskan perjalanan mereka.
Rasūlullāh yang sejak tadi mengamati tindak-tanduk Abū Hurairah segera memanggilnya, dan mengajaknya ke rumah. “Ayo ke rumahku, Abā Hirr. Aku baru saja mendapat hadiah satu panci susu,” kata Rasūlullāh. Abū Hurairah pun tersenyum lega. Akhirnya ...
“Tapi, kuminta engkau mengajak juga saudara-saudaramu yang tinggal di bilik Masjid,” pinta Rasūlullāh. Ahlu Shuffah! Semuanya berjumlah 40 orang, termasuk dirinya. Begitu pikir Abū Hurairah agak sedikit khawatir, apalagi setelah melihat susu itu hanya sepanci kecil. Namun kemudian kekhawatirannya lenyap, ia dan saudara-saudara Ahlu Shuffahnya dapat minum susu tersebut sampai puas, bahkan ia sampai berkata : “Cukup ya Rasūlullāh. Perutku sudah penuh!” (Rasūlullāh sendiri baru minum setelah semua tamunya puas minum).
Ah, kapan kiranya Mu’jizat Berbagi akan kembali memberkahi hidup kita? Pikiranku terus menerawang. Tidak hanya sebungkus nasi padang yang cukup memberi nikmat kepada semua anggota rumahku, tetapi sebungkus-sebungkus nikmat Tuhan lainnya yang kita bagi dengan sesama, akan cukup memberi nikmat kepada semua penduduk bumi Tuhan ini. Kapan ya?
(ngomong-ngomong, sudah siap berbagi belum?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar