Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

23 Mei 2009

BILA TERLANJUR BERDOSA (2)

Etika Nabi Adam memohon ampunan Allāh saat melakukan kesalahan, bukan etika khusus bagi kesalahan Nabi Adam saja, tetapi merupakan etika bagi setiap orang saat melakukan kesalahan apapun. Begitu pula keadaan batin yang mengiringi Nabi Adam ketika bertobat. Sehingga jika Nabi Adam menyadari betul kerugian yang harus ditanggung akibat menukar ketaatan terhadap irsyād ilāhi dengan kelezatan memakan buah pohon terlarang, demikian pula seharusnya orang yang melanggar perintah Allāh lainnya.

Ketika kesalahan itu sudah terlanjur diperbuat, Nabi Adam cepat menyadari bahwa dirinya, sama seperti hamba-hamba Allāh yang lain, tidak akan dapat lari dari sunnah Allāh yang berlaku untuk suatu kesalahan, bahwa kezaliman terhadap siapa pun, apapun bentuknya, pasti menyebabkan kerugian, sedangkan ampunan dan rahmat Allāh menyebabkan terhapusnya kezaliman dan akibat-akibatnya serta tertutupinya segala macam kekurangan dan cela dalam semua perkara hidup.

Karena itu di satu sisi betapa beliau sangat membutuhkan ampunan dan rahmat Allāh, tetapi di sisi lain beliau sadar bahwa kesalahan yang terlanjur diperbuat telah menempatkannya pada posisi yang hina dan tidak pantas menyandang kedudukan terhormat di sisi Allāh.

Inilah yang disebut keterjagaan dari kelalaian yang oleh Rasul disebut-sebut sebagai intinya taubat : “Penyesalan itu taubat.” Yaitu ketika hamba melihat pada dirinya terdapat sesuatu yang hakikatnya merupakan bagian dari kezaliman, dan jiwanya selalu memikirkan tentang keburukan perilakunya itu serta senantiasa melihat kenyataan-kenyataan negatif di dalamnya.

Secara terus menerus ia menyaksikan dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Sehingga dari waktu ke waktu kebutuhannya terhadap ampunan dan rahmat Allāh semakin menguat, diiringi rasa takut dan harap pada-Nya.

Ketika hal ini terjadi, hatinya pun menjadi luluh, tetapi sikapnya tegas menjauh dari batas-batas larangan Tuhan, dan kecenderungan menoleh kepada yang diinginkan nafsu dikekangnya dengan sangat keras. Ia menjadi manusia yang selalu menyesali atas apa yang pernah diperbuatnya.

Aktifitasnya, perilakunya, dan keadaan-keadaan dirinya mencerminkan rasa sesal, galau dan sedih. Waktu siang dan malamnya dipakai untuk menyesali kesalahan-kesalahannya, dan menjadikan hatinya benar-benar membutuhkan ampunan dan rahmat Allāh. Air mata penyesalannya akan terus mengalir, menggenangi, dan membasuh duka hatinya, menghapus bekas-bekas kesalahan yang ditinggalkannya, dan mengobati jiwanya yang meradang.

Pada sebagian hamba, keadaan seperti ini kadang nampak pada fisiknya. Mukanya sendu, tubuhnya lemah tidak bergairah, dan seleranya terhadap kenikmatan dunia menurun drastis. Hatinya tidak tertarik terhadap apapun selain pada ampunan dan rahmat Allāh.

Keadaan demikian persis seperti yang digambarkan Rasul : “Demi Allāh jika kamu sekalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu sedikit tertawa dan akan banyak menangis, dan kamu menjadi tidak berselera terhadap kesenangan dunia. Kamu akan pergi ke puncak-puncak gunung untuk hanya mendekatkan diri kepada Allāh.”

Dalam tangis-tangis penyesalannya, betapa ia sangat mengharapkan luasnya ampunan Allāh yang diceritakan oleh Rasul : “Allāh berfirman : Hai anak Adam, selama engkau berdoa dan mengharap kepada-Ku, Aku ampuni kamu atas kesalahan apapun yang telah kamu lakukan, dan Aku tidak pedulikan berapa pun banyaknya kesalahanmu itu. Hai anak Adam, andaikan kesalahanmu sampai memenuhi langit, tapi engkau tetap minta ampun kepada-Ku, Aku pasti ampuni kamu. Hai anak Adam, kalau kaudatang kepada-Ku membawa kesalahan sepenuh bumi, asalkan engkau tidak menyekutukan Aku dengan apapun, niscaya Aku penuhi bumi itu dengan ampunan.”

Begitulah keadaan hamba yang menjalani taubat nashuha. Apalagi halnya Nabi Adam dan istrinya yang memiliki ma’rifat sempurna. Betapa hebat penyesalan mereka. Betapa luluh lantak hati mereka. Tak terperi duka dan kegalauan yang menerpa mereka. Bahkan Adam tak pernah melupakan sesalnya itu sampai sewaktu seluruh manusia dikumpulkan di padang Mahsyar.

Rasūlullāh pernah bercerita : “Allāh akan mengumpulkan manusia yang pertama hingga yang terakhir di sebuah dataran. Mereka diharuskan mendengarkan berita dan memusatkan perhatian, sedangkan matahari didekatkan sebegitu dekat sehingga manusia merasakan derita dan kesengsaraan yang tak terperi. Mereka pun akan saling berkata satu sama lain : “Tidakkah kamu menyadari apa yang menimpamu ini akan semakin tak tertanggungkan? Tidakkah kamu mengharapkan datangnya orang yang dapat memberikan syafaat bagimu di hadapan Tuhan?” Maka seseorang akan berkata : “Pergilah kepada Adam.” Demikianlah, mereka pun pergi menemuinya dan berkata : “Anda adalah bapak manusia. Allāh telah menciptakan anda dengan tangan-Nya sendiri, dan menghembuskan kepada anda sesuatu dari Ruh-Nya, serta memerintahkan para Malaikat bersujud kepada anda. Maka mohonkanlah syafaat untuk kami kepada Tuhan. Tidakkah anda lihat kesengsaraan dan penderitaan kami?” Adam pun menjawab : “Sesungguhnya hari ini kemurkaan Tuhanku melebihi yang pernah terjadi sebelumnya, dan tidak akan pernah terjadi lagi sesudahnya. Dia telah melarangku mendekati pohon larangan-Nya, tapi aku melanggarnya. Diriku! Oh diriku! Pergi saja kalian kepada yang lain.”

(nyambung)

Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar