Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

11 Juni 2009

PELANTUN AYAT-AYAT TUHAN

Lega rasanya dapat turun dari bis ekonomi. Asap rokok yang memenuhi bis penuh penumpang sepanjang perjalanan, meninggalkan bau di bajuku yang lecek dengan keringat. Rasa penat dan lusuh menguatkan keinginanku untuk membasuh muka di salah satu kamar mandi terminal.

“Penuh?” Sipenjaga menganguk. Aku pun menunggu. Saat itulah telingaku mendengar sebuah lantunan. Lima meter arah Timur dari tempatku berdiri, seorang laki-laki bersila penuh khusyu’, dan setiap kali ada orang yang melewatinya, ia pun melantun. Sepertinya ia melantunkan ayat-ayat Qur-ān. Walaupun lantunannya tidak sejernih dan semerdu para Qurā MTQ, malah terdengar lebih mirip gumaman yang berirama, tetapi cukup mengundang perhatian banyak pejalan kaki yang melewati tempatnya.


Dan aku baru sadar kalau laki-laki itu seorang tunanetra, ketika ia berhenti melantun dan tangannya meraba-raba memunguti uang receh di mangkok plastik yang sedari tadi terletak di depannya.

Bismillāhir-rahmānir-rahīmi ... kembali ia melantun saat serombongan orang lewat. Beberapa dari mereka menaruh uang di mangkok plastik di depan lelaki itu. Kali ini lantunannya tidak segera selesai. Lantunannya mengingatkanku kepada lantunan Kang ‘Ali, marbot Mesjid di waktu subuh ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur-ān.

Telingaku masih tidak dapat lepas dari lantunan itu meski sudah berada di dalam kamar mandi. Pipis, cebok, membasuh tangan, membasuh muka, mengguyur rambut kepala, hingga keluar lagi dari kamar mandi, lantunan lelaki tunanetra itu terus saja kudengar.

Aku pun semakin tertarik untuk mendengarkan lagi, namun sekarang ingin sambil meresapkan arti dan makna dari ayat-ayat Tuhan yang dilantunkan lelaki itu. Mudah-mudahan diriku akan semakin mendapat kesegaran. Sambil tidak lupa menyiapkan uang untuk sedekah, tentunya. Menurutku, jika Rasul membenarkan siapa saja yang menanggung beban berat, atau yang kehilangan harta bendanya karena suatu musibah, atau yang hidup dalam kemiskinan, untuk meminta-minta, maka lebih-lebih apabila ia seorang pelantun ayat-ayat Tuhan.

Bismillāhir-rahmānir-rahīmi ... Lelaki tunanetra itu kembali melantun. Aku pun siap mendengarkan. Yā ayyuhālladzīna āmanū, mmmmmmmmmm ... Lho! Aku kesulitan menangkap kalimat-kalimat selanjutnya. Kucoba lagi. Mmmmmmmmmh ... mmmmmm, sama saja! Aku tidak dapat mengetahuinya. Akhirnya lantunan itu selesai.

Kucoba lebih dekat ketika lelaki itu kembali melantun. Waidz, hanya itu yang kudengar jelas, selebihnya hanya gumaman-gumaman berirama seperti orang mengaji yasinan di acara tahlilan atau di makam-makam, berdengung membentuk harmonisasi nada yang cepat dan meliuk-liuk, kadang tinggi, kadang rendah, sewaktu-waktu panjang mendayu, di waktu lain tajam menghentak. Tapi, berapa kalipun kucoba mengerti apa yang dilantunkannya, aku tetap tidak dapat menangkap kecuali bagian awal yang terdengar olehku mirip bagian dari Al-Qur-ān. Kadang yā ayyuhalladzīna āmanū, waidzqāla, qul, qad, sayaqūlū, dan aliflāmmīm dzalika atau aliflāmrā tilka. Selebihnya, hanya gumaman-gumaman berirama!

Tubuhku mendadak lunglai. Pernahkah lelaki tunanetra itu menyadari berapa banyak orang telah tersentuh hatinya oleh lantunannya yang mereka kira ayat-ayat Tuhan? Pernahkah ia menghitung keping demi keping uang receh, dan lembar demi lembar uang ribuan, telah dimasukkan ke dalam mangkoknya, karena lantunan “ayat-ayat Tuhan”nya berhasil membuat iba, bahkan mungkin ikhlāsh lillāhi ta’ālā, di hati ratusan bahkan ribuan orang yang telah melewatinya? Pernahkah ia mengetahui kalau lantunannya telah merubah, walau hanya sejenak, suasana hati seorang pelewat?

Kurasa tidak. Benaknya mungkin hanya berisi rencana melantun dan melantun sampai orang-orang memberi sedekah kepadanya, dan ketika itu berhasil, walaupun mangkoknya hanya berisi seribu duaribu, perasaannya sudah bersyukur. Ia tidak peduli lantunannya telah mempengaruhi jiwa orang-orang, di seluruh dunia dan selama hidup mereka sekalipun. Ia tak peduli!

Tapi aku? Lihatlah diriku? Untuk sebuah rencana besar : MENDAPATKAN KERIDHAAN TUHAN, susah sekali bersyukur, ketika hasil yang didapat tidak sebesar yang diharapkan, dan selalu masih sangat dahaga untuk merasakan kebanggaan kalau usahaku diapresiasi oleh ratusan, ribuan, bahkan seluruh orang di dunia. Sehingga ketika reaksi tidak simpatik orang-orang yang kuterima, akupun menjadi malas dan kurang semangat.

Dan berapa banyak Nabi, yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar ribbiyyūn. Mereka tidak menjadi lemah karena apapun yang menimpa mereka di jalan Allāh, dan tidak lesu, juga pantang menyerah. Allāh menyukai orang-orang yang sabar. Qs. Ālu ‘Imrān (3) : 146.

(Kepada pelantun tunanetra itu, kuberharap mudah-mudahan aku salah, dan hanya kebaikan baginya dan bagi orang-orang yang pernah tergerak hati ketika melewati ataupun mendengar lantunannya)


Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar