Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

04 Juni 2009

PEMIMPIN PRO RAKYAT (1)

Waduh!! ‘Āīsyah puteri Abū Bakr dan istri Rasul kaget, ketika ia mendengar Rasul menunjuk ayahnya untuk menggantikan beliau memimpin shalat.

‘Āīsyah kaget bukan karena ayahnya hanya ditunjuk sebagai pemimpin shalat. Tetapi ia kaget karena menimbang soal kelayakan ayahnya untuk melaksanakan tugas itu. (Inilah bedanya ‘Āīsyah dengan para puteri atau istri sekarang ketika mengetahui si ayah atau suami dipromosikan untuk jabatan tertentu!). “Tapi, ya Rasul ... Abū Bakr itu orang yang gampang menangis bila membaca Qur-ān!” Kata ‘Āīsyah, agak tersendat. (Maklum ... untuk mengajukan keberatan atas putusan Rasul, tentu bukan hal yang mudah bagi orang beriman. Bukan begitu?).

Dan jika sudah menangis ... (bayangan masa-masa indah di rumah bersama ayahnya pun kembali menyambangi ‘Āīsyah) ... ayahnya dapat terus berdiri dalam shalatnya, suaaangat lama. Larut dalam perasaan takut dan harap kepada Tuhan yang campur aduk. Merasakan kehinaan dan ketidakpatutan diri, sekaligus tercekam oleh kebesaran dan keagungan Tuhan. Kalau sudah begitu, Abū Bakr seolah lupa segalanya. Lupa istri dan anaknya, lupa peternakan dan bisnisnya. Yang dia ingat hanyalah Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Agung.

Keadaan seperti itu selalu terjadi, hampir setiap kali Abū Bakr shalat. Bahkan sewaktu shalat berjama’ah sekalipun. Hanya kalimat-kalimat Allāhu Akbar dan sami’allāhu li man hamidah yang dikomandokan imam yang dapat menggugahnya untuk bergerak mengikuti gerakan shalat selanjutnya. Inilah yang dikhawatirkan ‘Āīsyah. Padahal, seorang pimpinan shalat harus memperhatikan kondisi ma`mum. Tidak boleh larut dalam perasaan diri, sehingga melupakan orang yang mengimaminya. ‘Āīsyah teringat betapa Rasul begitu marah ketika mendapat pengaduan kalau salah seorang sahabatnya telah membaca seluruh surat al-Baqaraħ (286 ayat!) sewaktu mengimami shalat Isya’, pada saat malam telah sangat larut.

Yā Mu’ādz! Afattanun anta –Hai Mu’ādz! Apakah engkau hendak membuat fitnah?!” Begitu teguran Rasul kepada sahabat itu. Sampai tiga kali!

Padahal ayahnya, kalau sudah menangis dalam shalat, bisa berdiri lebih lama daripada orang membaca 286 ayat.

“Tidakkah sebaiknya anda menugaskan sahabat yang lain?” kata ‘Āīsyah hati-hati. Namun rasul tetap pada keputusannya. ‘Āīsyah pun menerima meski dengan perasaan cemas. Mampukah ayahnya menjadi pemimpin yang pro rakyat? ... (eh) pro ma`mum? Karena pada kesempatan lain Rasul pernah bersabda : “Sesungguhnya di antara kalian ada yang berlaku keterlaluan sehingga membuat orang lari dari petunjuk. Karena itu jika kalian menjadi imam shalat jama’ah yang dihadiri banyak orang dari berbagai golongan, maka hendaklah diringankannya, sebab di antara mereka ada yang lemah, yang sudah tua, dan yang memiliki keperluan.”

Barangkali, Rasul bergeming pada putusannya sejalan dengan apa yang kupikirkan tentang gampang menangisnya Abū Bakr (wah, gaya bener ... emang siapa sih lo?! Maaf, maaf. Maksudku, mudah-mudahan Allāh membenarkan pemikiranku tentang Abū Bakr, begitu pula Rasul-Nya).

Abū Bakr gampang menangis bukan karena cengeng. Apalagi kecut menghadapi beratnya dunia. Tetapi ia menangis karena riqqatul-qalbi (apa pula itu?), lembutnya hati! Yaitu keadaan hati yang peka terhadap Kebesaran dan Keagungan Tuhan. Konon, bagi pemilik keadaan ini, apapun yang ia lihat, dengar dan rasakan, akan membawanya masuk lebih dalam ke Kerajaan Tuhan, merasakan dan menyaksikan kemegahan al-malakūtus-samāwāti wal-ardhi, mencicipi manisnya kedekatan dengan al-malā-ul-a’lā, serta menghirup kesegaran al-anfāsul-‘athariyyaħ. (Ngerti?). Singkatnya tenggelam dalam kelezatan dan faedah kehadiran di hadapan Tuhan, dan melihat Keindahan dan Keagungan pengurusan-Nya.

Jika hati sudah sedemikian peka terhadap ayat-ayat Tuhan, mungkinkah ia akan melupakan orang-orang di sekitarnya, yang juga salah satu dari tanda-tanda kebesaran Tuhan? Karena itu kalau Abū Bakr benar-benar memiliki hati yang peka terhadap Tuhan, mustahil ia tidak tahu apa yang paling dibutuhkan oleh orang-orang yang akan dipimpinnya, dan bagaimana Tuhan telah menciptakan mereka berbeda-beda.

Jadi, tidak usah cemas, wahai ibu, ayahandamu pasti mampu menjadi pemimpin yang pro ma`mumnya! Justru yang harus kaucemaskan, wahai ibu. Sekarang, banyak orang yang mengesankan dirinya sebagai pemimpin yang pro rakyat, tetapi mereka tidak memiliki hati yang peka terhadap Tuhan. Bagaimana kelak hidup kami, ibu ... Doakan kami ya?

(tuk ibuku, ‘Āīsyah Ummul-Mu`minīn).

Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar