Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kamu semua agar berkeadilan, berkebajikan dan berkepedulian terhadap sesama. Dan Dia membenci setiap kekejian, kemungkaran dan permusuhan!

12 Desember 2009

SEDIKIT OLEH2 DARI DUNIA KEMATIAN

Maaf ya, maaf ... sudah lama menghilang, tiba-tiba nongol bawa2 kematian!

Aku sedang tenggelam di antara buku-buku dan artikel-artikel ilmiah soal kematian (bukan iseng lho, tapi harus karena suatu pesanan); lalu tergerak begitu saja saat melihat-lihat blogku ini untuk membagi beberapa bagian dari kerja boronganku itu (tidak apa-apa kan? pake nanya ... blog, blog punya situ! Egepe dah!). Semoga bermanfaat.


Dikatakan kepada orang beriman itu dalam kematiannya : “Masuklah ke Surga.” Ia pun berkata : “Oh alangkah baik sekiranya sanak famili dan handai tolanku mengetahui penyebab aku diampuni Tuhan dan Dia menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”

Qs. YāSīn (36) : 26-27.

Seharusnya Kematian Bukan Sesalan


Jika Yang paling Kita Senangi Adalah Berdekat-dekat Kepada Tuhan (taqarrub ilallāh)

Pada saat kematian, ruh mengalami dua macam perubahan. Pertama, dia sekarang terpisah dari mata, telinga, kaki dan dari semua bagian anggota tubuh, seperti halnya dia terpisah dari keluarga, anak-anak, kerabat dan semua handai tolannya, kendaraan-kendaraannya, simpanan-simpanan kekayaannya, rumah-rumah dan semua yang pernah dimilikinya. Tidak ada perbedaan antara apakah semua ini pergi meninggalkannya atau dia yang pergi meninggalkan semua itu, tetap saja perpisahan semacam ini menimbulkan duka. Sehingga jika di dunia seseorang memiliki sesuatu yang sangat disenangi dan begitu dia nikmati, serta selalu dia cari, maka ketika dia karena kematian dipaksa untuk berpisah dengan semua kesenangan ini, betapa besar rasa sesalnya dan betapa berat perpisahan tersebut.

Ruh dapat merasakan semua itu karena meskipun daya kerjanya pada anggota-anggota badan telah hilang karena kematian, tetapi pengetahuan dan pemahamannya, serta kemampuannya merasakan gembira, sedih, sakit, dan sebagainya tidaklah hilang. Seperti halnya pada kelumpuhan, ruh tidak lagi efektif pada sebagian atau seluruh anggota badan yang lumpuh, tetapi pengetahuan dan kemampuan merasakan kesenangan dan penderitaan tetap ada.

Rasa senang dan kebahagiaan ruh akan sempurna jika satu-satunya hal yang paling digemarinya adalah mengingat dan melakukan pendekatan-pendekatan kepada Allāh, karena dengan kematian, dia telah melewati dinding pemisah antara dirinya dengan Sang Mahakasih, dan dia terbebas dari belenggu kesibukan duniawi yang seringkali membuatnya melupakan Dia.

Perubahan kedua adalah ketika terungkap segala hal bagi ruh yang tidak diungkapkan kepadanya di masa hidup. Hal pertama yang akan terungkap adalah rahasia baik atau buruk perbuatannya. Selama ini rahasia itu hanya terguris dalam nuraninya, dan dia berpaling dari keharusan memperhatikannya karena kesibukan-kesibukan dan ambisi duniawi. Namun jika kesibukan-kesibukan dan ambisi itu telah terhenti sama sekali, maka semua perbuatannya akan terlihat nyata di hadapannya. Tak alang kepalang rasa sesalnya ketika dia melihat perbuatannya selama ini benar-benar jahat. Apalagi jika terungkap bahwa kejahatan itu adalah kejahatan terhadap atau di hadapan Allāh yang telah memberinya banyak karunia dan nikmat, maka bagaimana rasa takut, malu, hina, sedih dan kecewa yang sudah dapat dia rasakan meski hukuman belum ditimpakan atas dirinya. Kita berlindung kepada Allāh dari hal seperti itu! Sesungguhnya rasa hina, aib dan nista lebih menakutkan daripada bentuk siksaan apapun.

Demikian itu keadaan orang mati yang bergelimang dosa semasa hidupnya dan terpedaya oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Berbeda dengan dia yang tujuan hidupnya keridhaan Allāh dan menjadikan amal-amal baik sebagai bekal dan penopang dalam mencapai tujuannya. Saat satu per satu anggota tubuhnya mati; mula-mula telapak kakinya menjadi dingin, kemudian betis dan pahanya, hingga ruhnya mencapai kerongkongan, dimana perhatiannya kepada dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya berhenti, terungkaplah baginya keridhaan Allāh yang selama ini ditujunya dengan mengusahakan berbagai kebaikan. Betapa suka cita yang dirasakannya dan dia tidak dirisaukan dengan terputusnya kesempatan untuk lebih banyak beramal, karena barangsiapa yang selalu berbekal untuk menyampaikannya kepada tujuan, maka tentu dia akan rela berpisah dengan sisa perbekalannya itu ketika dia telah mencapai tujuannya.

Apalagi Kalau Matinya Di Jalan Allāh

Ini karena syuhada tidaklah maju ke medan perang, kecuali dengan memutuskan semua kecondongan mereka terhadap duniawi karena lebih merindukan perjumpaan dengan Allāh, sehingga mereka rela terbunuh demi memperoleh keridhaan-Nya. Syuhada adalah orang yang menjual dunia untuk memperoleh akhirat. Dan seorang penjual selamanya tidak akan pernah menoleh kembali kepada barang yang telah dijualnya. Adapun akhirat adalah yang dibeli dan sangat diinginkan oleh mereka. Dan alangkah besar suka cita seorang pembeli ketika berhasil mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkannya.

Tenggelamnya hati dalam merindukan perjumpaan dengan Allāh bisa saja terjadi dalam keadaan tertentu. Akan tetapi hidup yang panjang dengan bermacam persoalannya bisa saja menimbulkan perubahan pada seseorang. Oleh karena itu berbahagialah syuhada ketika mereka dapat terlibat langsung dalam pertempuran, karena pertempuran adalah salah satu penyebab kematian yang juga berarti sarana untuk mati dalam keadaan merindukan Allāh, dan semakin bertambah besarlah kebahagiaan syuhada ketika mereka benar-benar mati dalam pertempuran, sebab kebahagiaan mengandung arti tercapainya apa yang diinginkan, sedangkan terhalang dari mendapatkannya adalah kenestapaan. Itulah ketika Allāh melukiskan kebahagiaan penghuni Surga, Dia berfirman : “Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan di dalamnya kamu memperoleh pula apa yang kamu minta.” Dan ketika menggambarkan kesengsaraan penghuni Neraka, Dia berfirman : “Dan mereka dihalangi dari yang mereka inginkan.” (Qs. Fushshilat (41) : 31 dan Sabā` (34) : 54).

Atau Sempat Bertobat Sebelum Sampai Pada Sakratul Maut

Rasulullāh memberitahukan : “Tobat hamba tetap diterima selama dia belum sampai pada sakratul maut.”

Hadis Turmudzī dan Ibnu Mājjah.

Sakratul maut adalah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang langsung ke pusat jiwa dan menjalar ke seluruh bagiannya sehingga tak ada lagi satu bagian yang tidak mengalami sakit. Kalau rasa sakit tertusuk pecahan kaca, misalnya, hanya menjalar pada jiwa yang terletak di sekitar anggota badan yang tertusuk itu saja, dan ini masih lebih ringan bila dibandingkan dengan luka bakar karena rasa sakit akibat terbakar menyebar lebih luas, maka rasa sakit sakratul maut melebihi semua itu. Sakitnya menghujam jauh ke dalam hati dan menyebar ke seluruh anggota badan sehingga bagian orang yang sedang mengalaminya merasakan jiwanya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat, saraf, persendian, lapisan demi lapisan kulit, dari ujung kaki hingga puncak kepala.

Satu per satu anggota tubuhnya akan mati. Mula-mula telapak kakinya menjadi dingin, kemudian betis dan pahanya, hingga ruhnya mencapai kerongkongan. Pada titik ini berhentilah perhatiannya kepada dunia dan manusia-manusia yang ada di dalamnya. Pintu tobat pun ditutup. Betapa sakit, sedih dan penyesalan yang bercampur aduk pada saat-saat ini.

“Kematian yang paling mudah adalah serupa dengan sebuah batang berduri di sepanjang sisinya yang menancap pada sebongkah kapas. Apakah batang berduri itu dapat diambil tanpa mencerabut bagian demi bagian kapas yang terkoyak?” Begitu sabda Rasulullāh. Dan beliau mengajarkan agar kita berdoa :

allāhumma innaka ta`khudzurrūha min baynil’ashabi walqashabi wal-anāmili; allāhumma fa-a’innī ‘alālmawti wahawwinhu ‘alayya

Ya Allāh, sesungguhnya Engkau mencabut nyawa dari urat-urat, ruas-ruas tulang dan ujung-ujung jari. Ya Allāh tolonglah aku dalam kematian, dan ringankanlah dia bagiku.

Keduanya hadis Ibnu Abid Dunyā. Adapun penjelasan tentang sakaratul maut di atas dihimpun dari beberapa hadis, antara lain hadis-hadis yang dinukil dalam Ihyā` Al-Ghazali.

Bagi Pelaku Maksiat Persoalannya Tidak akan Mudah

nyambung ...

Related Posts by Categories



3 komentar:

  1. yap, saya juga cukup takut terhadap kematian... :)

    BalasHapus
  2. salam sobat
    ok banget artikelnya mas,,
    makanya kita harus banyak bersyukur, beramal dan beribadah,,karena itu bekal untuk dibawa kalau kematian tiba.

    BalasHapus
  3. manusia yang mencintai Allah tentukan bahagia ketika meninggal, bersua dengan sang pecinta dan yang paling dicinta dibanding apapun yang ada di dunia... karena tiada manusia yang pantas mendapat sepenuh ketulusan cinta dari manusia lainya, hanya Allah yang seharusnya dicinta setulus jiwa, kemudian hanya karena dan demi cinta pada Allah-lah cinta terhada sesama itu di tebar...

    namun tidak mudah menjadi manusia yang seperti itu.. menghadapi kematian terkadang berat, apalagi jika cinta di dalam hati untuk Allah tidak dirasa telah sepenuh jiwa dengan sempurna..

    postinganmu bagus, edukatif, informatif, dan mencerahkan... sebuah cermin yang mesti di pandang oleh setiap jiwa...

    BalasHapus