Dua pemuda datang mengadu : “Wahai pemimpin orang-orang beriman. Kami datang membawa pembunuh ayah kami.”
‘Umar bertanya heran : “Benarkah?”
‘Umar bertanya heran : “Benarkah?”
Orang yang dibawa dalam keadaan terikat segera menjawab : “Benar! Aku orang dusun yang datang hendak berziarah ke makam Rasul Allāh. Di pinggir kota, aku berhenti untuk mandi dan bersuci. Aku tambatkan kudaku di samping tembok kebun seseorang yang tidak kukenal. Kemudian saat aku keluar dari pemandian umum, aku lihat kudaku tengah memakani pucuk-pucuk korma dari kebun tersebut. Aku pun segera menariknya menjauh. Saat itulah seorang yang sudah tua mendatangi kami seraya marah-marah. Ia pun melempar kepala kudaku dengan batu dan menyebabkannya mati seketika. Melihat itu, aku jadi gelap mata, aku ambil batu itu, dan kulemparkan ke kepala orang tua itu hingga ia pun mati seketika. Orangtua itu belakangan kuketahui adalah ayah dari dua anak muda ini.”
“Demi Allāh,” sumpah orang itu, “seandainya aku tidak takut akan balasan yang lebih dahsyat dari Allāh, niscaya saat itu juga aku akan melarikan diri, dan sungguh tak akan ada yang tahu perbuatanku itu, kecuali aku dan Allāh.”
Dan ketika ia dijatuhi hukuman mati, ia pun berkata : “Aku terima hukuman ini. Namun, aku mohon ditangguhkan pelaksanaannya, karena aku tengah menanggung keuangan seorang anak yatim hingga ia baligh. Aku tentu harus mencari penggantiku, dan menunjukkan tempat penyimpanan harta anak yatim itu yang hanya aku seorang yang mengetahuinya. Untuk itu, izinkanlah aku kembali ke kampungku, dan beri waktu aku selama tiga hari.”
‘Umar terdiam. “Aku tidak dapat memenuhi permintaanmu itu,” katanya, “kecuali jika ada orang yang bersedia menjaminmu.”
Siterpidana pun menatap satu persatu para sahabat Rasul yang hadir. “Ini dia yang menjadi penjaminku,” katanya sambil memegang lengan Abū Żārr.
“Baiklah, aku setuju,” kata Abū Żārr.
Siterpidana pun diizinkan pergi. Namun sampai tiga hari, ia tidak kembali-kembali. Kedua pemuda yang menuntut sangat geram, dan berkata kepada Abū Żārr : “Hai sahabat Rasūl! Inilah akibat kamu mempercayai begitu saja orang yang tidak pernah kau kenali. Jika sampai sore hari ini, ia tidak kembali, maka engkaulah yang harus menjalani hukuman mati.”
Namun tak sampai sore, siterpidana datang dengan tergopoh-gopoh, seraya berteriak : “Maafkan aku! Maafkan aku! Aku telah membuat kalian menunggu.”
“Apakah kalian mengira aku akan mengingkari janji?”, kata siterpidana kemudian, “tidak, demi Allāh, jika aku mau lari, sejak semula lari adalah lebih baik bagiku, namun aku takut balasannya Allāh, Raja Hari Penghisaban, dan aku tidak ingin menjadi orang yang menyebabkan manusia akan berkata sudah tidak ada lagi kata-kata yang dapat dipegang kebenarannya di Islam.”
Orang-orang yang hadir tersentak. Dan ketika mereka bertanya kepada Abū Żārr, kenapa ia mau menjadi penjamin orang yang tidak dikenalnya. Abū Żārr menjawab : “Demi Allāh, aku tidak kuasa menolaknya, dan aku tidak ingin menjadi orang yang menyebabkan manusia akan berkata sudah tidak ada lagi persaudaraan dan tolong-menolong di Islam.”
Mendengar semua itu, dua pemuda yang menuntut itu segera mencabut tuntutannya dan memaafkan si terdakwa. Mereka berkata : “Demi Allāh, kami pun tidak ingin jadi orang yang menyebabkan manusia akan berkata sudah tidak ada lagi hati yang penuh belas kasih di Islam.”
Demikianlah. Takut kepada pembalasan Tuhan dan khawatir menjadi orang yang karenanya Islam tidak lagi pantas dipercaya, merupakan mutiara berharga bagi kemajuan Islam dan pemeluknya yang pantas kita miliki kembali saat ini. Setuju?
assalamualaikum???
BalasHapussesungguhnya islam itu selalu dipercaya... dan sessungguhnya orang yang tidak percaya itulah orang yang lebih laknat dari orang yang menyebabkan islam tidak dipercaya...
seperti telur dalam kerongkongan..